Ya, meski kebaya itu kini hanya tersimpan di lemari tua Simbok. Setidaknya itu menunjukkan kalau aku sangat bangga pada Simbok.Â
Tanpa sengaja, tadi malam, saat Simbok shalat tahajud, kudengar isak tangis Simbok. Kuyakin karena tak bisa mendampingiku saat wisuda.
Mataku berkaca-kaca saat mengingat Simbok yang menangis di sepertiga malam. Mencurahkan perasaan kepada Sang Pemilik Alam dan seisinya.
"Kamu harus tegar dan kuat, Hana," batinku.
***
Rangkaian acara wisuda telah berjalan lancar. Semua wisudawan dan wisudawati bisa keluar ruang wisuda. Menemui orang tua atau keluarganya di luar ruangan.Â
Aku melangkah pelan menuju depan Rektorat kampus. Mencari keluarga Bulik Tin dan sepupu-sepupu yang berjanji akan datang.
Mencari mereka di tengah keramaian keluarga para wisudawan-wisudawati tentu sangat sulit. Meski aku mengirimkan pesan untuk menanyakan di mana keberadaan mereka.
Saat sedang menyapukan pandangan ke berbagai sudut yang sekiranya ada keluarga Bulik Tin, tiba-tiba kulihat Bu Rinta dan Pak Ikhlas berada di bawah pohon kelengkeng.
"Hana, sini!" Bu Rinta melambaikan tangannya ke arahku.
Aku mendekati Bu Rinta dan Pak Ikhlas. Bu Rinta menyerahkan buket bunga mawar putih padaku.