Aku mendekati Simbok yang masih berkutat dengan inthilan tepung gaplek yang sudah siap dikukus.
Dandang yang hitam karena terkena api karena dimasak dengan tungku dan kayu bakar sudah mendidih airnya. Segera saja Simbok memasukkan tepung gaplek yang sudah siap dikukus tadi.Â
Sementara aku membantu mencuci daun ketela dan daun pepaya sampai bersih. Lalu merebusnya hingga matang dan kutiriskan. Nanti kalau thiwul sudah matang, baru kubuat sambal bawang.
***
Dua hari berikutnya, Simbok bicara padaku, "Besok pas kamu wisuda, Simbok diminta menemani Nona Maury, Ndhuk."
Aku terdiam. Kalau Simbok bicara seperti itu, artinya Bu Rinta dan suaminya, Pak Ikhlas ada acara keluarga luar kota. Padahal Nona Maury itu belum bisa diajak bepergian jauh. Usianya baru delapan bulan.
Aku menarik napas dalam-dalam. Tak mungkin aku marah pada Simbok karena tak bisa ke kampus untuk menyaksikan wisudaku. Aku pun tak mungkin marah pada Bu Rinta. Bagaimanapun beliau sangat berjasa bagi keluarga kami.
"Ya nggak apa-apa, Mbok. Yang penting Simbok amanah kalau dipercaya Bu Rinta."
Simbok terdiam. Lalu berkata,"Maafkan Simbok ya, Ndhuk."
***
Sekarang aku mengikuti gladi bersih untuk wisudaku besok pagi. Aku menginap di rumah Bulik Tin yang rumahnya tak terlalu jauh dari kampus. Saat kuliah aku ngekos. Tetapi begitu dinyatakan lulus setelah yudisium, aku berhenti ngekos. Tentu tujuanku untuk menghemat uang yang kudapatkan dari menulis. Kutabung sedikit demi sedikit biar bisa membelikan kebaya buat Simbok.