Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lintang yang Terluka

5 Maret 2024   21:00 Diperbarui: 5 Maret 2024   21:10 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: divedigital.id

Luka, tak pernah terbayangkan akan hadir di hatimu yang juga membuat hatiku lebih terluka. Kau gadis yang kukenal karena isengku yang luar biasa. Scroll chat-mu dengan Rizky, tetanggaku. Diam-diam aku menyimpan nomor kontakmu.

Awalnya aku mencoba peruntungan untuk dekat dengan wanita dari kampung halaman. Sesuai permintaan ibu yang ingin memiliki menantu dari kampung. Setidaknya dari kabupaten yang sama.

Lelaki petualang. Itu yang bisa disematkan kepadaku, juga kepada temanku lainnya. Kami sering merasa sepi dan jauh dari jodoh bila tak adu strategi mendapatkan wanita impian.

"Kalau nggak mau ngaku, nomor kamu kunamai Mr," balasmu saat aku beberapa kali iseng dan tak memberi kejelasan identitasku.

Dari balasanmu itu kurasa kau sangatlah unik dan patut untuk diperjuangkan. Perempuan yang tak mudah didekati. Sekalipun mungkin sebenarnya Rizky yang juga sahabat kuliahmu, ada rasa padamu. Aku malah berpikir untuk memenangkan hatimu. 

Aku tersenyum membayangkan jika akhirnya kita melangkah ke jenjang serius, sementara Rizky melihat kebersamaan kita.

"Kamu jangan macem-macem sama dia," nasehat atau mungkin ancaman dari Rizky.

"Emangnya kenapa?"

"Dia marah sama aku, tahu!"

"Mmm, kamu melindunginya. Sepertinya kamu menyukai cewek itu."

"Terserah kamu. Pokoknya jangan macem-macem!"

Telepon kami terputus. Tentu aku tak ambil pusing. Lalu kuscroll nomor kontakmu. Kukirimkan chat kata-kata bijak. Belajar bijak jika nanti akan bersamamu. Melanjutkan hubungan kita ke arah lebih serius.

"Kamu itu seperti adikku. Cara bicaramu mirip," kataku saat meneleponmu, di jam istirahat.

"Ngeselin kan?"

Aku tertawa. Suaramu candu sekali di telingaku. Setiap saat aku ingin mendengarnya. Dan ingin kujumpaimu jika kurasa diriku sudah yakin.

"Ngangeni," aku mulai melancarkan gombalan.

"Sudah, nggak usah aneh-aneh."

Lama percakapan lewat telepon terhenti. Aku menebak isi hatimu. Apakah nama Rizky telah mengisi hatimu? Ah tidak! Selama janur belum melengkung, kau itu masih bisa dimiliki siapa saja. Maksudku bisa didekati siapa saja.

"Kamu masih sering ketemu Rizky?"

Kutunggu jawabanmu. Entah kau sedang melakukan aktivitas apa. Tak ada suaramu. Terdengar lirih percakapan di sebuah ruangan. Entah rapat atau apa. Terpaksa kututup teleponku.

Malam hari, jelang tidur.

"Kamu tadi ngapain?"

"Kerja."

"Kerja apa?"

"Pacaran! Ya ngajar-lah!"

Terputus lagi teleponku. Kutelepon lagi, hanya terdengar nada sambung.

Kuputar otak. Kuhubungi Rizky. 

"Hmm, ada apa lagi?"

"Mau tanya, Bro! Tahu kabar Lintang?"

"Nggak."

Mendengar jawaban Rizky rasanya lega. Tapi aku harus mendapatkan informasi lebih tentangnya.

"Dia sering SMS atau chat sama kamu nggak?"

"Kamu tuh ngapain tanya aku?"

"Siapa tahu, dia cerita-cerita apa gitu."

"Nggak ada."

"Bro! Kamu suka Lintang?"

"Kalau aku suka kenapa? Terus kalau nggak suka kenapa?"

"Ya, enggak. Memastikan saja, kalian ada hubungan khusus apa nggak."

Ya Allah. Untuk dekat dengan seorang perempuan saja perjuangan harus seperti ini. Jadi intel bagi diri sendiri karena kemungkinan besar aku bersaing dengan Rizky. Sementara temanmu yang lain tak kukenal sama sekali.

Kuingat lagi komunikasi kita beberapa minggu lalu.

"Aku kehabisan paket data. Ini aku balas pakai nomor Kak Maury."

Kucari nomor itu dan kuhubungi Maury. Entah, pemilik nomor itu teman kerjamu atau tetanggamu. Kutanya-tanya segala hal tentangmu padanya. Entah kenapa, akhirnya aku mendapat lampu hijau untuk bertanya apapun tentangmu. Maury mudah diajak komunikasi. Hingga aku jarang menghubungimu. Demi mendapatkan informasi tentangmu. Meski informasi tak jelas yang kudapatkan. Lucunya, Maury ini ingin dikenalkan dengan temanku yang seprofesi denganku. Katanya dia punya impian menikah dengan prosesi pedang pora. Kuiyakan saja permintaannya, asal dia memberikan informasi tentangmu. 

***

Saat pulang kampung, aku ingin menemuimu. Untuk ke rumahmu, aku belum percaya diri. Ingin meminta ditemani Rizky, tapi rasanya tak mungkin. Bisa-bisa aku malah mengantarnya apel ke rumahmu. Karena sampai saat ini, aku belum tahu, sebenarnya hatimu sudah terisi namanya atau nama lelaki lain. 

Kuputuskan menemuimu dengan ditemani Maury. Aku sangat berterima kasih pada Maury karena membantu jalanku untuk ke rumahmu. 

Maury yang baru saja berjumpa denganku terlihat ceria dan baik sebagai sahabat. Dia mengajakku ke rumahmu. Sesampai di rumahmu, hatiku berdebar tak karuan. Menjumpaimu, Lintang. Kau yang sebelumnya terasa jauh, sebentar lagi akan kulihat secara langsung.

Maury mengetuk pintu rumahmu. Sementara aku memandangi halaman rumahmu yang tak begitu luas namun sangat asri. Kukira tangan dinginmu yang menyulap pekarangan dengan aneka bunga yang cantik.

Tak lama pintu terbuka. Seorang wanita berumur lima puluhan muncul dari balik pintu.

"Eh, Nak Maury. Lama nggak ke sini. Gimana kabarnya?"

"Baik, Bu. Lintang ada?" tanyanya.

Mendengar Maury menanyakan keberadaanmu, hatiku semakin berdebar lebih kencang.

"Ada. Eh, Nak Maury ke sini sama siapa tuh?" tanya wanita itu sambil memandang ke arahku. Aku merasa grogi. Hanya bisa menganggukkan kepala pelan.

Maury sendiri menjawab pertanyaan wanita itu dengan berbisik. 

"O begitu. Kalau begitu silakan masuk."

"Mm, kami di teras saja, Bu," ucap Maury.

"Oh ya. Ibu panggil Lintang dulu ya, Nak."

Wanita itu masuk ke dalam rumah. Maury mengajakku duduk di kursi yang ada di teras rumah Lintang.

Tak lama, seorang gadis berjilbab motif bunga muncul. Dengan mengenakan paduan pakaian berwarna cokelat susu dan rok hitam. Kuyakin kalau gadis itu adalah kau. Tampak sederhana tapi enak dipandang. Sangat beda dengan Maury. Maury tak berjilbab, pakaian dan celana ketat membalut tubuhnya. Lintang, kau begitu sempurna.

Tanganmu membawa baki dengan teh di atasnya. Dengan cekatan kau letakkan di meja yang ada di depanku.

"Maaf nunggu lama, Kak Maury."

"Ah nggak apa-apa."

Kalian cipika-cipiki. Lalu kau duduk di dekat Maury. Cukup jauh dariku. 

"Eh iya, Lintang. Ini Mas Nabil."

Kau tangkupkan tangan di depan dadamu saat Maury mengenalkanku kepadamu. "Kamu kenal kan?"

Kau mengerutkan dahi.

"Mas Nabil?"

"Mr, Lintang," ucapku gugup. Rupanya jawabanku mengejutkanmu.

"Lintang, tahu nggak? Kami baru saja jadian loh. Seneeeeng banget. Nanti kami nikah. Terus ada prosesi pedang pora," sahut Maury tanpa terkendali.

Aku sangat terkejut ketika mendengarnya. 

"Jadian apa, Mbak Maury?" tanyaku kesal. Dia menguji kesabaranku.

Maury menjawab pertanyaanku dengan manja. Sungguh aku tak menyangka kalau kenyataan menjadi seperti ini.

***

Di rumah. Aku uring-uringan. Pertemuanku denganmu yang harusnya menjadi awal yang membahagiakan, malah berkebalikan. Gagal!

Aku coba meneleponmu. Tak ada jawaban. SMS atau WA bernasib sama. Di saat itulah aku sadar kalau beberapa bulan, kita memang lost contact. Aku terlalu fokus mencari informasi tentang statusmu. Lupa untuk menghubungi, sekadar menanyakan kabar.

Pagi, hari berikutnya. Ada notifikasi telepon darimu. Aku terlalu lelah dan mengantuk, hingga suara telepon tak terdengar.  

Segera saja aku meneleponmu. 

"Kita perlu bicara," ucapmu singkat.

***

Akhirnya aku menunggumu di kawasan Pantai Mesra. Kau mengajakku bertemu. Kau yang memilih lokasinya. 

Pantai dengan pemandangan yang indah, membuatku berpikir kalau masih ada secercah harapan untuk lebih dekat denganmu.

Kulayangkan pandanganku hingga mataku tertuju ke arahmu berada. Langkah kakiku mantap menuju ke tempatmu berada.

"Assalamu'alaikum."

Kau jawab salamku dan menengok ke arahku sekilas. Sayangnya kau tak membalas uluran tanganku saat aku mengajak bersalaman.

Senyum cantik yang biasa kulihat di foto profilmu, tak kulihat. 

"Lintang, gimana kabarmu?"

"Baik. Maaf, aku mengganggumu. Tapi ada yang perlu kuketahui darimu."

"Apa itu, Lintang?"

"Bagaimana hubunganmu dengan Kak Maury?"

"Kami hanya..."

"Jangan patahkan hatinya. Kumohon."

"Aku tak mencintainya..."

"Sudahlah. Jangan permainkan dia. Dia sahabat baikku."

"Tapi aku ingin kamu..."

"Ingin aku apa? Kamu kira aku ini siapa? Aku bukan siapa-siapa bagimu," sahutmu tanpa memandangku.

Suaramu sangat lain, Lintang. Suaramu lebih lantang. Hatiku perih. 

___

Branjang, 28 Februari-5 Maret 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun