Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Belum Waktunya

3 Februari 2024   22:41 Diperbarui: 4 Februari 2024   09:55 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: wallpaperflare.com

Bakda Maghrib. 

Ayat demi ayat Qur'an yang terlantun petang ini mengingatkan kala duduk di bangku SMA. Aku yang masuk SMA favorit harus banyak bersyukur. Meski minim prestasi untuk masuk ke SMA itu.

Dengan keadaan dan kemampuan belajarku yang tak sama dengan teman-teman, ada seorang teman laki-laki yang dengan sukarela menjadi teman bicara. Aku memang tergolong seorang introvert. Jadi agak kesulitan juga untuk berkomunikasi dan bersosial. 

Teman laki-laki yang menjadi teman bicara, sebut saja namanya Razka. Dia sangat pandai. Tak segan-segan dia mengajariku. Namun aku tak paham juga. Saat mendapatiku yang tidak paham juga, tak pernah keluar ejekan atau kata-kata sejenis. 

***

"Day, kamu nggak ke kantin?" tanya Razka saat awal-awal saling mengenal.

Aku menggeleng. 

"Ayo. Aku traktir," ucap Razka yang bersiap melangkah ke kantin, menyusul teman-teman lain yang sudah berlarian begitu bel istirahat berbunyi.

"Aku puasa, Ka."

Razka terdiam. Lalu kembali ke bangkunya yang kebetulan berada di depan bangkuku.

"Aku di sini saja kalau begitu," ucapnya kemudian.

"Kasihan kamu. Di kelas sendirian."

Aku tertawa. 

"Nggak apa-apa. Aku nggak bakalan nangis. Nggak bakalan hilang kok."

Razka tetap berada di bangkunya.

"Hei... lekas ke kantin sana!"

Kuusir Razka dari bangkunya.

***

"Kamu nggak ke kantin?" tanyaku di hari berikutnya.

"Nggak. Aku bawa bekal."

Razka mengeluarkan nasi bungkus dari dalam tas merahnya. Tas itu menjadi bahan ejekan dariku untuknya. Bagiku, laki-laki itu aneh kalau menggendong tas ransel merah menyala.

"Nih, buatmu!"

Razka menyodorkan sebungkus untukku. Aku menolaknya. 

"Sudah. Kamu makan saja. Itu masakan bundaku. Enak kok."

"Tapi..."

"Nggak ada tapi-tapian. Jangan biasa menunda makan kalau nggak puasa. Kalau sakit malah kamu yang nyusahin bapak ibumu."

Akhirnya kubuka nasi bungkus pemberian Razka. 

"Oke. Aku makan. Tapi besok lagi, aku nggak mau..."

"Yeee... siapa pula yang mau bawain lagi?"

***

"Daya, kamu yakin dengan perjodohan dengan anak ayahmu?" tanya sahabatku, Riana.

"Mau gimana lagi, Riana. Ayah sama ibu sudah kepingin seperti tetangga yang menikahkan putrinya. Apalagi usiaku... ya...kamu tahu sendiri kan?"

Saat ini usiaku sudah cukup matang untuk berkeluarga. Sahabat-sahabatku sudah menikah. Ada yang memiliki dua atau tiga anak. Termasuk Riana. Sementara aku, ke mana-mana masih sendirian.

"Tapi menikah itu bukan hal yang asal lho. Jangan pertaruhkan hidupmu kalau kamu nggak yakin akan perjodohan itu."

Riana tak tahu, betapa ayah ibu merasa malu, anak perempuannya belum menikah hingga usia hampir tiga puluh tahun.

"Kamu belum mengenal calon kamu kan? Bagaimana kalau..."

"Sudahlah, Riana. Kukira sudah waktunya aku menikah. Sekalipun aku belum mengenalnya."

***

Bakda Isya.

"Daya, kamu sudah yakin dengan Nak Dito kan?" tanya Ibu di kamar. Sementara di ruang tamu, Dito, lelaki yang melamarku beserta keluarganya terdengar masih berbincang.

"Ini untuk kebaikanmu ya, Ndhuk."

Tak ada jawaban yang keluar dari mulutku. 

"Sekarang, rapikan jilbabmu. Kamu temui Nak Dito dan keluarganya."

Mendadak aku jadi ragu untuk menemui calon suami dan keluarganya. Aku merasa belum siap untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

Ajakan ibu tak kuhiraukan. Aku tetap duduk di ranjangku. Rayuan ibu agar aku ke ruang tamu, tak membuatku beranjak. Ibu menghela napas. Langkah kakinya pelan meninggalkan kamarku.

Kini kumenyesal, kenapa dulu aku tak bisa membuka hati untuk beberapa teman yang ingin mendekatiku, hingga akhirnya aku dijodohkan seperti ini. Kalau saja kuterima salah satu di antara mereka, aku sudah menikah dan membahagiakan orangtua.

Kurebahkan tubuh. Kucoba memejamkan mata. Suara obrolan dari ruang tamu membuatku semakin tak menentu. Mungkin seperti ini yang harus dirasakan oleh perawan tua, seperti yang dikatakan tetangga-tetangga.

Tiba-tiba, handphoneku berbunyi. Kuambil handphone di samping bantalku. Kuperhatikan nama di layar. Razka! Beberapa kali dia meneleponku. Tak kuangkat. Aku ingin terus menjaga jarak dengannya. Apapun keadaannya. Bagaimana pun aku pernah mengharapkan Razka tetapi dia sudah menemukan cintanya. Seorang perempuan yang kutahu adalah teman kuliahnya. Cantik, pintar, supel. Mungkin kini mereka sudah menikah. Aku tak tahu persis. Sejak kutahu hubungan mereka, aku menjauhinya.

Dering telepon kembali berbunyi. Dengan ragu kuangkat teleponnya.

"Assalamu'alaikum. Ada apa, Ka?" tanyaku tanpa basa-basi. Aku ingin segera beristirahat. 

"Kamu ini, kenapa nggak mau menemuiku?"

Aku tak paham, apa yang dibicarakan Razka. Kupikir, dia iseng. Seperti saat SMA dulu, sering iseng kalau aku hanya diam di kelas.

"Day, malam ini aku di rumahmu sama Bunda, Papa dan saudara-saudara. Mereka ingin bertemu denganmu, terus mau pulang. Temui kami, ya. Belum waktunya berlama-lama di rumahmu."

***

Branjang, 3 Februari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun