Mendadak aku jadi ragu untuk menemui calon suami dan keluarganya. Aku merasa belum siap untuk melangkah ke jenjang pernikahan.
Ajakan ibu tak kuhiraukan. Aku tetap duduk di ranjangku. Rayuan ibu agar aku ke ruang tamu, tak membuatku beranjak. Ibu menghela napas. Langkah kakinya pelan meninggalkan kamarku.
Kini kumenyesal, kenapa dulu aku tak bisa membuka hati untuk beberapa teman yang ingin mendekatiku, hingga akhirnya aku dijodohkan seperti ini. Kalau saja kuterima salah satu di antara mereka, aku sudah menikah dan membahagiakan orangtua.
Kurebahkan tubuh. Kucoba memejamkan mata. Suara obrolan dari ruang tamu membuatku semakin tak menentu. Mungkin seperti ini yang harus dirasakan oleh perawan tua, seperti yang dikatakan tetangga-tetangga.
Tiba-tiba, handphoneku berbunyi. Kuambil handphone di samping bantalku. Kuperhatikan nama di layar. Razka! Beberapa kali dia meneleponku. Tak kuangkat. Aku ingin terus menjaga jarak dengannya. Apapun keadaannya. Bagaimana pun aku pernah mengharapkan Razka tetapi dia sudah menemukan cintanya. Seorang perempuan yang kutahu adalah teman kuliahnya. Cantik, pintar, supel. Mungkin kini mereka sudah menikah. Aku tak tahu persis. Sejak kutahu hubungan mereka, aku menjauhinya.
Dering telepon kembali berbunyi. Dengan ragu kuangkat teleponnya.
"Assalamu'alaikum. Ada apa, Ka?" tanyaku tanpa basa-basi. Aku ingin segera beristirahat.Â
"Kamu ini, kenapa nggak mau menemuiku?"
Aku tak paham, apa yang dibicarakan Razka. Kupikir, dia iseng. Seperti saat SMA dulu, sering iseng kalau aku hanya diam di kelas.
"Day, malam ini aku di rumahmu sama Bunda, Papa dan saudara-saudara. Mereka ingin bertemu denganmu, terus mau pulang. Temui kami, ya. Belum waktunya berlama-lama di rumahmu."
***