Saat bersekolah di SD dulu, guru selalu menjelaskan kalau rumah itu berfungsi untuk melindungi penghuninya dari hujan dan panas.Â
Penjelasan itu nyaris tak ada yang memprotes. Anak usia SD memang mengetahui konsep rumah sebagai tempat berlindung dari hujan dan panas.
Setelah menginjak remaja hingga dewasa, aku mulai mencari-cari tahu tentang manfaat rumah yang sebenarnya. Kulakukan itu karena aku hanya sekadar berteduh saat hujan juga saat panas.Â
Kedamaian hati tak kutemukan di rumah ayah dan ibu. Sekalipun segala hal bisa kuperoleh tanpa harus berusaha payah atau ditunda seperti teman-teman seusiaku.Â
Kulihat ayah pulang untuk berganti pakaian, lalu pergi lagi. Tanpa sepatah kata. Senyum pun tak tergambar di wajahnya. Entah apa yang dipikirkannya. Entah apa yang terus dikejarnya.
Ibu yang sehari-hari hanya berada di rumah seolah tak peduli dengan suaminya itu. Rasanya aku ingin membantunya protes atas kelakuan lelaki yang kusebut ayah.Â
Melihat ibu begitu, aku benar-benar tak terima. Sejak aku kecil hingga hampir lulus SMA, ayah tak romantis kepada ibu. Kejutan di hari ulang tahun atau hari perkawinan mereka dilalui bisu.Â
"Bu..."
Ibu tersenyum dan mengelus kepalaku. Aku menjadi nyaman kembali. Setidaknya di rumah ini ada ibu sebagai sumber kekuatanku. Kelembutannya selalu kurindu kalau aku berjauhan dengannya.
"Bagaimana rencanamu setelah lulus, Aksa?"