Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gerimis dan Pertemuan Kita Kali ini

10 Desember 2023   08:44 Diperbarui: 10 Desember 2023   08:47 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: image creator from Microsoft Designer

Kukira kita tak saling bertegur sapa hampir dua puluh tahun. Cukup lama. Aku ingin melupakanmu, nihil. Bayangmu selalu saja terbayang di mataku. Senyummu, manjamu, atau malah mungkin rasa sebal dan wajah jutek saat aku menggodamu, semua itu masih lekat di ingatanku.

Hingga kini aku berumur empat puluh tahun, tak jua kutemukan sosok perempuan yang bisa menyentuh hatiku lagi. Entah karena terus mengingatmu, dan berharap bertemu denganmu, atau aku yang terlalu pilih-pilih. Atau aku terlalu mengejar karir, dan merasakan nyaman dengan keadaanku sekarang. 

"Kamu kujodohkan sama Fitri, anaknya Pak Narto saja, Edwin!" 

"Saya belum siap, Pak."

"Mau sampai kapan siapnya, Win?" 

Suara bapak menggelegar. Beliau pasti kesal. Aku sering menolak perjodohan dengan putri-putri temannya. Dari beliau sudah beberapa nama perempuan yang akan dikenalkan dan dijodohkan denganku. Ratri, Nisa, Hera, Elora. Entah siapa lagi, aku lupa.

Nama-nama itu akhirnya mendapatkan jodohnya masing-masing. Kalau menerima undangan dari mereka, pasti bapak mengungkit, harusnya aku menikah dengannya. 

Aku sih tertawa saja. Menikah kan yang akan menjalani aku. Kenapa bapak malah repot, pikirku waktu itu. 

Kini, bapak kembali memaksakan untuk melamar seorang putri temannya, Fitri. Tak ada penundaan waktu. 

"Pokoke saiki kowe kudu manut Bapak (Pokoknya sekarang kamu harus manut sama Bapak). Titik!"

Usai mengucapkan kalimat itu, bapak menuju masjid. Sebentar lagi waktunya Dhuhur tiba. Bapak sering adzan di masjid setelah purna tugas. 

"Apa yang kamu cari to, Win?" 

Ibu bertanya padaku, setelah tadi bapak mendesakku untuk menerima perjodohan dengan Fitri. 

"Kowe ki wis tuwa (Kamu sudah tua). Temanmu sudah punya anak. Lha kamu menikah saja belum," gerutu ibu, sambil melipat pakaian yang menggunung. Terpaksa aku ikut membantu ibu. Sedianya, gunungan pakaian mau kurapikan setelah aku istirahat. 

Melihatku beraksi, ibu memandangku sebentar dan memangku pakaian yang akan dilipatnya lagi. Matanya menerawang entah ke mana.

"Adhimu ya wis rabi (Adikmu juga sudah menikah). Sebentar lagi sudah mau melahirkan. Apa kamu nggak kepingin juga?"

Aku diam dan terus melanjutkan. Kuselesaikan aktivitas yang akrab denganku. Ya, meski lelaki, aku tak merasa hina dengan mencuci, melipat atau menyetrika pakaian. Itu bukan pekerjaan tabu bagiku. Semua karena didikan ibu. Ibu bilang, meski aku seorang lelaki tapi tak boleh merasa lebih daripada perempuan. Apalagi kalau sudah menikah nantinya.

"Ditakoni malah meneng wae (Ditanya kok malah diam saja). Wis, pokoknya kamu harus mau kalau bapak jodohkan sama Fitri. Demi kebaikanmu juga. Mosok mau jadi perjaka tua gitu."

Aku tersenyum kecut saat mendengar ucapan ibu itu. Tapi rasanya lucu juga, zaman serba modern, masalah jodoh kok masih saja diatur orang tua. 

***

Senja ini turun gerimis pertama kalinya di musim penghujan ini. Aroma khas tanah yang tersentuh air hujan tercium. Kupejamkan mata. Kuhirup udara yang segar berpadu dengan aroma tanah. Kunikmati titik-titik air yang menyentuh lembut kulit. Mengusir gerah yang selama musim kemarau begitu dikeluhkan manusia.

Kini aku berada di taman, tempat kita sering bertemu. Kau ingat kan? Apakah di tempatmu berada juga mulai memasuki musim hujan? 

Aku sengaja ke tempat ini. Mengenang kebersamaan denganmu berpuluh tahun lalu. Mulai dari pertama kali saling mengenal hingga masa kuliah di tahun pertama dan kedua. 

Di tempat ini, dulu saat SMA, kita sering mengisi waktu. Sekadar bertanya mau melanjutkan sekolah ke mana, mengerjakan tugas atau hanya untuk mendengar curhatmu. Curhat kalau kau sering mendapatkan surat dari Sadewa, si ketua OSIS. Aku setia saja mendengar curhatmu. Sesekali menggodamu, kalau kau sebentar lagi akan dinikahinya, setelah lulus SMA. Kau cubit lenganku.

***

"Kak, ini ada titipan surat dari Mbak Intan!"

Senja, beberapa tahun berikutnya, kau menyerahkan surat bersampul mawar merah. Terlihat kau sedikit cemberut saat aku membuka dan membaca surat itu. 

Kalau saja hatiku belum terisi namamu, aku pasti bahagia sekali menerima surat dari Intan. Intan adalah sosok perempuan idaman bagi lelaki manapun. Hanya saja, aku belum berani menyatakan isi hatiku padamu. Aku takut kalau kau akan menjauhiku karena kita sepakat untuk selalu menjaga persahabatan. 

"Isi suratnya apa?" 

Kau bertanya berulang beberapa kali. Aku tak menjawabnya. Kuulurkan surat dari Intan kepadamu. Kau serahkan kembali surat itu setelah selesai kau baca.

"Mbak Intan itu cantik, pintar."

"Terus?"

Kring...kring...

Tiba-tiba handphone-mu berbunyi. Kau menjauhiku. Tak berapa lama kau pamit dan pulang. Kau dijemput seseorang yang asing bagiku. Seorang lelaki yang terlihat rapi dan sepertinya sudah bekerja.

Sejak saat itu, kau tak pernah lagi menyapaku. Bahkan mengirim pesanpun tidak pernah. Aku menghubungimu. Tak ada nada sambung terdengar. Kusimpulkan kalau kau sudah ganti nomor dan tak mau berkomunikasi denganku lagi.

Aku merasa sangat bersalah padamu. Di sisi lain, aku menyesal, mengapa dulu aku tak langsung membicarakan tentang isi surat itu. Mengapa dulu tak kuungkap perasaanku? Entah bagaimana reaksimu, harusnya aku siap waktu itu. 

Ternyata, cerita atau tidak, komunikasi kita putus. Ya, akhirnya aku merasa kehilanganmu. Kau rasakan jugakah?

***

Malamnya, terpaksa aku menuruti keinginan bapak. Aku mengikuti Ibu, bapak, sanak saudara dan beberapa tetangga menuju rumah Fitri. Melamar Fitri.

Hatiku belum bisa menerima perjodohanku dengan Fitri. Tak pernah kubayangkan bagaimana kehidupanku setelah menikah nantinya. Kukira aku harus banyak belajar mencintainya setelah lamaran malam ini. Meski aku sangat pesimis.

"Dulu bapak sama ibumu juga dijodohkan, Edwin. Menikah itu yang penting jaga diri setelah memiliki pendamping. Rasa cinta bisa tumbuh dengan sendirinya. Tresna jalaran saka kulina," cerita Bapak, seolah bisa menerka kegalauanku setelah lamaran dan menikah dengan Fitri nantinya.

Sesampai di rumah Pak Narto, acara lamaran berlangsung sederhana. Cincin sudah melingkar di jari manisku dan jari manis Fitri. Dilanjutkan dengan acara ramah tamah dengan keluarga Fitri. Alangkah terkejutnya aku, saat mataku menangkap sosok perempuan yang begitu mirip denganmu. 

Perempuan itu mendekatiku dan tersenyum manis. Aku harap kalau perempuan itu kebetulan memiliki kemiripan denganmu. 

"Itu kakak iparku, Mas. Mbak Naila."

Namamu terucap dari calon istriku itu. Di belakangmu, ada sosok lelaki yang dulu kulihat menjemputmu di taman. Lelaki itu menggandeng seorang remaja cantik yang mirip denganmu.

___

Branjang, 1-10 Desember 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun