Kring...kring...
Tiba-tiba handphone-mu berbunyi. Kau menjauhiku. Tak berapa lama kau pamit dan pulang. Kau dijemput seseorang yang asing bagiku. Seorang lelaki yang terlihat rapi dan sepertinya sudah bekerja.
Sejak saat itu, kau tak pernah lagi menyapaku. Bahkan mengirim pesanpun tidak pernah. Aku menghubungimu. Tak ada nada sambung terdengar. Kusimpulkan kalau kau sudah ganti nomor dan tak mau berkomunikasi denganku lagi.
Aku merasa sangat bersalah padamu. Di sisi lain, aku menyesal, mengapa dulu aku tak langsung membicarakan tentang isi surat itu. Mengapa dulu tak kuungkap perasaanku? Entah bagaimana reaksimu, harusnya aku siap waktu itu.Â
Ternyata, cerita atau tidak, komunikasi kita putus. Ya, akhirnya aku merasa kehilanganmu. Kau rasakan jugakah?
***
Malamnya, terpaksa aku menuruti keinginan bapak. Aku mengikuti Ibu, bapak, sanak saudara dan beberapa tetangga menuju rumah Fitri. Melamar Fitri.
Hatiku belum bisa menerima perjodohanku dengan Fitri. Tak pernah kubayangkan bagaimana kehidupanku setelah menikah nantinya. Kukira aku harus banyak belajar mencintainya setelah lamaran malam ini. Meski aku sangat pesimis.
"Dulu bapak sama ibumu juga dijodohkan, Edwin. Menikah itu yang penting jaga diri setelah memiliki pendamping. Rasa cinta bisa tumbuh dengan sendirinya. Tresna jalaran saka kulina," cerita Bapak, seolah bisa menerka kegalauanku setelah lamaran dan menikah dengan Fitri nantinya.
Sesampai di rumah Pak Narto, acara lamaran berlangsung sederhana. Cincin sudah melingkar di jari manisku dan jari manis Fitri. Dilanjutkan dengan acara ramah tamah dengan keluarga Fitri. Alangkah terkejutnya aku, saat mataku menangkap sosok perempuan yang begitu mirip denganmu.Â
Perempuan itu mendekatiku dan tersenyum manis. Aku harap kalau perempuan itu kebetulan memiliki kemiripan denganmu.Â