Usai mengucapkan kalimat itu, bapak menuju masjid. Sebentar lagi waktunya Dhuhur tiba. Bapak sering adzan di masjid setelah purna tugas.Â
"Apa yang kamu cari to, Win?"Â
Ibu bertanya padaku, setelah tadi bapak mendesakku untuk menerima perjodohan dengan Fitri.Â
"Kowe ki wis tuwa (Kamu sudah tua). Temanmu sudah punya anak. Lha kamu menikah saja belum," gerutu ibu, sambil melipat pakaian yang menggunung. Terpaksa aku ikut membantu ibu. Sedianya, gunungan pakaian mau kurapikan setelah aku istirahat.Â
Melihatku beraksi, ibu memandangku sebentar dan memangku pakaian yang akan dilipatnya lagi. Matanya menerawang entah ke mana.
"Adhimu ya wis rabi (Adikmu juga sudah menikah). Sebentar lagi sudah mau melahirkan. Apa kamu nggak kepingin juga?"
Aku diam dan terus melanjutkan. Kuselesaikan aktivitas yang akrab denganku. Ya, meski lelaki, aku tak merasa hina dengan mencuci, melipat atau menyetrika pakaian. Itu bukan pekerjaan tabu bagiku. Semua karena didikan ibu. Ibu bilang, meski aku seorang lelaki tapi tak boleh merasa lebih daripada perempuan. Apalagi kalau sudah menikah nantinya.
"Ditakoni malah meneng wae (Ditanya kok malah diam saja). Wis, pokoknya kamu harus mau kalau bapak jodohkan sama Fitri. Demi kebaikanmu juga. Mosok mau jadi perjaka tua gitu."
Aku tersenyum kecut saat mendengar ucapan ibu itu. Tapi rasanya lucu juga, zaman serba modern, masalah jodoh kok masih saja diatur orang tua.Â
***
Senja ini turun gerimis pertama kalinya di musim penghujan ini. Aroma khas tanah yang tersentuh air hujan tercium. Kupejamkan mata. Kuhirup udara yang segar berpadu dengan aroma tanah. Kunikmati titik-titik air yang menyentuh lembut kulit. Mengusir gerah yang selama musim kemarau begitu dikeluhkan manusia.