Kini aku berada di taman, tempat kita sering bertemu. Kau ingat kan? Apakah di tempatmu berada juga mulai memasuki musim hujan?Â
Aku sengaja ke tempat ini. Mengenang kebersamaan denganmu berpuluh tahun lalu. Mulai dari pertama kali saling mengenal hingga masa kuliah di tahun pertama dan kedua.Â
Di tempat ini, dulu saat SMA, kita sering mengisi waktu. Sekadar bertanya mau melanjutkan sekolah ke mana, mengerjakan tugas atau hanya untuk mendengar curhatmu. Curhat kalau kau sering mendapatkan surat dari Sadewa, si ketua OSIS. Aku setia saja mendengar curhatmu. Sesekali menggodamu, kalau kau sebentar lagi akan dinikahinya, setelah lulus SMA. Kau cubit lenganku.
***
"Kak, ini ada titipan surat dari Mbak Intan!"
Senja, beberapa tahun berikutnya, kau menyerahkan surat bersampul mawar merah. Terlihat kau sedikit cemberut saat aku membuka dan membaca surat itu.Â
Kalau saja hatiku belum terisi namamu, aku pasti bahagia sekali menerima surat dari Intan. Intan adalah sosok perempuan idaman bagi lelaki manapun. Hanya saja, aku belum berani menyatakan isi hatiku padamu. Aku takut kalau kau akan menjauhiku karena kita sepakat untuk selalu menjaga persahabatan.Â
"Isi suratnya apa?"Â
Kau bertanya berulang beberapa kali. Aku tak menjawabnya. Kuulurkan surat dari Intan kepadamu. Kau serahkan kembali surat itu setelah selesai kau baca.
"Mbak Intan itu cantik, pintar."
"Terus?"