Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Persahabatan dan Cinta yang Tertanam di Bumi Papua

8 November 2023   21:15 Diperbarui: 8 November 2023   21:18 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak-anak kecil berjalan di bawah terik matahari di mana aku bertugas saat ini. Mereka bertelanjang kaki. Kaki mereka sudah bersahabat baik dengan jalanan yang dilaluinya setiap hari. Senyum mereka riang. 

Mereka ke pos jaga dengan berbagai alasan. Begitu dekat pos jaga, mereka berlomba lari. Di antara mereka ada yang membawa sayuran dan buah hasil kebun keluarganya. Ada juga yang tak membawa apapun. 

Aku dan teman di pos biasanya mengganti barang bawaan mereka dengan aneka makanan ringan seperti Beng Beng, Marie Roma Kelapa, susu kotak, dan makanan lain yang kebetulan dikirim ke pos.

Jujur saja, saat mau diberangkatkan ke daerah paling timur Indonesia ini, keluarga terutama ibu mengkhawatirkan aku. Ya, seperti teman-teman yang dikhawatirkan oleh isteri, atau keluarga masing-masing.

Peluk dan tangis mengantarkan kami sesaat setelah pelepasan ke Papua. Kami yang sudah mengambil keputusan menjadi abdi negara, pasti siap apapun keadaannya. Meski menguatkan hati keluarga bukanlah hal yang mudah. 

Beruntunglah aku belum punya pasangan, jadi belum melihat nyeseknya seorang perempuan menangis tersedu saat mengantarkanku ke tempat tugas. Tapi jangan dikira kalau aku tak sedih ketika harus berjauhan dengan ibuku. Ibuku-lah yang membesarkanku dan kakak-kakak sepeninggal ayah.

Pelukan ibu menghangatkan hatiku yang akan berjauhan dengannya. Namun air mata yang menggantung di matanya tak kuasa kulihat. Aku lebih memilih untuk memeluknya erat dan mencium kepala perempuan terkasihku itu.

"Hati-hati ya, Le. Ngibadahe aja nganti ditinggalke (Ibadahnya jangan sampai kamu tinggalkan)," pesan ibu saat tubuh tua-nya dalam pelukanku.

"Nggih, Bu. Insyaallah," jawabku singkat.

"Ibu jaga kesehatan nggih. Ampun ngoyo teng peken (jangan ngoyo ke pasar)," pesanku.

Seperti yang kukatakan tadi, ibu membesarkan aku dan kakak-kakak seorang diri. Ayah bukanlah PNS meski kesehariannya ---ketika masih hidup--- menjadi pengajar di sebuah sekolah negeri. Itu kuketahui setelah berusia dua belas tahun. Ya, ayah seorang Guru Tidak Tetap atau Guru Honorer. Jadi, gajinya bukan dari pemerintah secara langsung yang bisa diterimakan melalui nomor rekening masing-masing. Besarannya juga tak seperti guru PNS. 

Ketika ayah berpulang karena kecelakaan dalam perjalanan menuju sekolah tempat kerjanya, otomatis keluarga kami kehilangan tulang punggung. Tak ada uang pensiunan seperti para PNS yang memasuki masa pensiun atau meninggal dunia. 

Ibu memutar otak. Ibu akhirnya memutuskan untuk berjualan di pasar. Alhamdulillah ada Bu Siti yang memberikan modalnya. Ibu tak perlu mengembalikan modal itu. Memang Bu Siti adalah tetangga yang dermawan, seperti Pak Bejo, bapaknya Bu Siti. Karena kedermawanannya, tak membuatnya jatuh miskin.

"Malah ada saja rezeki saya, Bu. Makanya saya yakin kalau sodaqoh itu membawa keberkahan untuk kami," cerita Bu Siti saat menolak uang dari ibu. Uang itu sedianya untuk pengembalian modal darinya. Dengan berbinar ibu mengucapkan terima kasih kepada Bu Siti.

***

Untuk mengusir kerinduanku kepada ibu, aku menyibukkan diri dengan warga asli. Seperti yang kau lihat hari ini.

"Di sekolah tadi kau dikasih pelajaran apa, Kaka?"

Kaka, anak yang kusapa itu hanya nyengir. Kaka dan teman-temannya menjadi sahabat, dan saudara yang begitu erat. Kami ditugaskan ke bumi Cenderawasih memang harus dekat dengan mereka.

"Aku lupa, Bang!"

Selepas menjawab pertanyaanku, dia tertawa lebar. Langsung saja aku menyentil hidungnya dengan pelan.

"Wahhh. Jangan sampai lupa, Kaka. Diingat-ingat betul pelajarannya ya. Buat bekal kalau kamu gede," ucapku sok bijak.

"Ya udah, kalau begitu tolong Abang tanyakan ke guruku," celoteh Kaka.

Tawaku pecah. Ada-ada saja Kaka ini.

"Oke. Besok kutanyakan. Lalu sore, pulang sekolah kamu ke sini buat belajar lagi sama Abang ya!"

Kaka tersenyum dan mengambil posisi hormat kepadaku. 

"Sudah petang. Mau Maghrib. Abang mau siap-siap shalat Maghrib. Kaka pulang dulu ya!"

***

Melewati jalanan di siang menjelang sore di Pulau Papua bersama Kaka dan temannya, terasa sangat cepat. Tak seperti biasanya.

Siang ini aku memang sengaja ke sekolah Kaka untuk menjemputnya. Sekaligus menemui gurunya dan menanyakan materi pelajaran Kaka. Biar aku bisa membantu belajar Kaka dan teman-temannya. Itu tujuanku.

Dalam bayanganku, gurunya adalah lelaki paruh baya bertubuh gempal. Maklum Kaka tak pernah cerita siapa gurunya.

"Ada yang bisa dibantu, Pak Tentara?" tanya guru Kaka ramah. Senyumnya menawan hati. Ah, rasanya baru pertama kali ini aku merasakan hatiku berdebar saat bertemu dengan perempuan.

Guru Kaka bernama Cahyani. Sesuai dengan namanya, guru Kaka terlihat bercahaya. Cahaya itu merasuki hati. Menerangi gelap hati dan membuat hatiku lebih berwarna.

Kembali Bu Cahyani menanyakan keperluanku. Aku tergagap dan sadar atas kekagumanku pada perempuan muda di depanku. Akhirnya, kukatakan saja hal yang sebenarnya. Bu Cahyani menjelaskan beberapa materi yang sudah disampaikan kepada Kaka.

"Bukunya sudah saya bagikan, Pak. Jadi Bapak bisa mengajari Kaka sepulang sekolah," terang Bu Cahyani kemudian.

Aku terhenyak. Terlupa untuk menanyakan buku pelajaran kepada Kaka. Malu juga rasanya. 

"Jadi, Kaka sudah punya buku?" tanyaku memastikan.

Anggukan dan senyum manis Bu Cahyani membuatku semakin malu. Tapi kubuang rasa itu jauh-jauh. Tentara itu pantang malu kalau bertanya hal yang belum diketahui.

Merasa sudah cukup berbicara dengan guru Kaka itu, aku segera berpamitan. Aku berjalan menuju tempat di mana motorku terparkir. Di sana sudah ada Kaka dan temannya. Mereka melambaikan tangan dan segera duduk di atas jok motor. Begitu langkahku dekat dengan mereka, aku teringat kalau belum mendapatkan satu informasi. Segera aku kembali menemui Bu Cahyani. To the point, aku menyatakan maksudku.

***

Malam harinya, aku memberanikan untuk menyapa Bu Cahyani. Tetapi sapaan lewat WhatsApp itu hanya centang satu. 

___

*)Cerpen masuk dalam buku Setoreh Rasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun