Aku menyadari kalau kau adalah lelaki yang teramat baik. Bisa bercanda, bertengkar kecil, tetapi kembali bersahabat tanpa harus merasa sungkan denganku.
Anehnya, aku tak pernah berpikir menjadikanmu lelaki spesial. Ah, iya. Aku ingat. Saat pertama kali mengenalmu, sudah ada lelaki lain yang diam-diam kuharapkan menjadi orang spesial bagiku. Dia adalah teman kuliah seangkatanku.Â
Daya tarik apa yang membuat hatiku jatuh cinta? Orangnya cakep, pinter tetapi cuek. Mungkin itulah yang membuatku tertantang dan akan merasa bangga jika mendapatkan hatinya.
Dalam perkembangannya, aku mulai hilang rasa. Aku tak tertarik lagi. Bertemu dengannya tak membuatku berbunga-bunga seperti pada awal kumenyukainya.
Di saat itulah, aku mengenalmu lewat kakakku, Mas Opik. Kau teman baiknya. Kau sering ke rumah untuk mengerjakan tugas kuliahmu. Mulai dari situlah kita berkenalan.
Jujur saja aku senang bersahabat denganmu. Aku sering ikut ngobrol denganmu dan Mas Opik. Hingga akhirnya kau ujian skripsi dan dinyatakan lulus. Tak lama kemudian kau yudisium dan menunggu waktu wisuda.
"Besok mas Hafidz wisudanya bareng mas Opik 'kan? Mas Opik sudah punya pendamping loh! Mas Hafidz nanti kenalin pacarnya ya!" ucapku dengan bercanda.
"Kamu ini! Tahu sendiri kan kalau selama ini dia ke sini cuma sendirian," sahut Mas Opik.
Aku manggut-manggut. Sementara kau tersenyum.
"Lah gimana, Pik. Boleh nggak aku ngajak Kirana?" tanyamu kepada Mas Opik.