Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kekhilafan

30 Desember 2022   13:59 Diperbarui: 30 Desember 2022   14:04 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Desain dengan canva.

Lelaki yang pernah dekat denganku itu tak lagi rapi. Rambutnya dipanjangkan lagi. Ada rasa gugup menyergap hatiku saat bersua lagi. Namun aku berusaha tenang. 

Ya, setelah satu tahun lebih aku dan dia tak bersua, dipertemukan lagi dalam acara walimah saudaraku. Entah siapa yang mengundangnya. Aku tak menemukan namanya saat mengetik nama-nama tamu undangan pada kertas label.

Ada rasa canggung. Namun hatiku berdebar. Apalagi saat kami berfoto dengan sang pengantin. Dia berdiri di sampingku. Tubuh tegapnya masih seperti dulu. Tak ada perubahan. 

**

Perkenalanku dengannya berawal dari tempat kerjaku. Lima tahun yang lalu. Aku yang belum lama menjadi guru di tempat kerjaku, terlambat sampai sekolah. 

Sungguh sial. Pintu gerbang sudah dikunci satpam. Memang sekolah tempat kerjaku sangat disiplin. Kudengar dari teman kerjaku kalau kepala sekolah sangat tegas dan tidak mau tahu alasan guru kalau melakukan pelanggaran.

Meski terlambat, aku menggoyang-goyang pintu gerbang. Berharap pak Eka, satpam sekolah, mendekat dan membukakan pintu gerbang. Namun pak Eka tak beranjak dari pos satpam yang berada tak jauh dari pintu gerbang.

Aku panik. Memikirkan bagaimana cara untuk bisa masuk sekolah. Aku harus segera ke kelas. Kepala Sekolah yang selama seminggu menghadiri undangan dari Dinas pasti sudah tiba di sekolah.

Aku tak mau kalau Kepala Sekolah mengetahui keterlambatanku. Tapi ini merupakan keterlambatan yang pertama kulakukan. Kebetulan ban motorku bocor, jadi aku harus ke bengkel untuk menambalkan ban.

Aku menuntun motor dengan hati tak karuan. Beberapa bengkel yang kutemukan, masih tutup. Maklum, aku berangkat kerja sebelum pukul enam. Dalam aturan sekolah, semua guru-karyawan harus tiba di sekolah sebelum pukul setengah tujuh.

Baru pada pukul enam lewat lima belas menit, kulihat bengkel buka. Aku lega. Kupercepat dalam menuntun motor. Namun untuk menambalkan ban bocor membutuhkan waktu yang cukup lama.

Aku tak tenang saat tukang tambal mengeksekusi ban motorku yang bocor. Aku bingung harus melakukan apa. Baru seminggu bekerja, kok terlambat sampai sekolah. Belum pernah bertemu kepala Sekolah lagi.

***

"Hei... mas!" Kupanggil dan kulambaikan tangan kepada seorang lelaki muda yang mendekati pak Eka di pos satpam. Aku belum pernah melihatnya. Mungkin saja dia karyawan atau guru baru.

Tapi tunggu! Kulihat kok dia berambut panjang. Rambutnya dikuncir. Penampilan rapi. Wajahnya lumayan juga. Mungkin guru Seni, pikirku. Soalnya dalam otakku terkonsep bahwa guru-guru Seni itu nyentrik.

Perlahan lelaki dengan rambut berkuncir mendekati pintu gerbang.

"Ada apa, Bu? Nama ibu siapa dan ada keperluan apa?" Suara lelaki itu datar.

"Nanti kenalannya ya, mas. Cepat, tolong dibukakan gerbangnya. Saya mau masuk".

"Tapi ini sudah dikunci, Bu. Jadi nggak bisa!"

Lelaki itu membalikkan badan. Tak menanggapi permintaanku.

"Oke, mas. Aku janji traktir kalau mas bukakan gerbangnya," ucapku nekad. Demi bisa masuk ke kompleks sekolah.

Dia tak menghiraukan ucapanku. Dia menuju pos satpam dan kembali ke arahku berdiri. Aku tersenyum lega.

"Makasih ya, mas. Aku janji traktir kamu!"

Kuamati wajah cool di depanku itu.

"Mas ini guru apa ya? Mbok ya rambutnya dirapikan. Kalau kepala Sekolah tahu, bisa dimarahi lho". 

Tanpa menunggu jawabannya, aku bergegas lari menuju kelas. Kudengar samar-samar, para siswa masih mengaji. Salah satu bentuk literasi di sekolah Islam terpadu, selain membaca buku-buku.

***

"Bu Niken, dipanggil bapak." Ucap Bu Sinta yang bangkunya berada di sebelah kananku. 

"Iya, Bu. Sebaiknya Bu Niken lekas ke ruangan bapak!" Tambah pak Udin.

Aku mengangguk. Kuletakkan tas di kursiku. Lalu kuteguk teh di mejaku. Tenggorokanku terasa kering. Kuingat-ingat, aku memang belum minum sama sekali meski sudah sarapan. Mana di kelas suaraku harus super untuk mengimbangi suara riuh para siswa.

Segera kulangkahkan kaki ke ruang Kepala Sekolah. Kuketuk pintunya. Terus terang, aku sangat berdebar-debar. 

Dari dalam ruangan, kudengar suara lelaki. Kuyakin, itu suara Kepala Sekolah. Tapi, kurasa aku pernah mendengarnya.

***

Aku terbelalak saat masuk ruangan kepala Sekolah. Rasanya tak percaya kalau yang ada di dalam ruangan itu adalah lelaki yang kumintai tolong untuk membukakan pintu gerbang.

Branjang, 30 Desember 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun