Baru pada pukul enam lewat lima belas menit, kulihat bengkel buka. Aku lega. Kupercepat dalam menuntun motor. Namun untuk menambalkan ban bocor membutuhkan waktu yang cukup lama.
Aku tak tenang saat tukang tambal mengeksekusi ban motorku yang bocor. Aku bingung harus melakukan apa. Baru seminggu bekerja, kok terlambat sampai sekolah. Belum pernah bertemu kepala Sekolah lagi.
***
"Hei... mas!" Kupanggil dan kulambaikan tangan kepada seorang lelaki muda yang mendekati pak Eka di pos satpam. Aku belum pernah melihatnya. Mungkin saja dia karyawan atau guru baru.
Tapi tunggu! Kulihat kok dia berambut panjang. Rambutnya dikuncir. Penampilan rapi. Wajahnya lumayan juga. Mungkin guru Seni, pikirku. Soalnya dalam otakku terkonsep bahwa guru-guru Seni itu nyentrik.
Perlahan lelaki dengan rambut berkuncir mendekati pintu gerbang.
"Ada apa, Bu? Nama ibu siapa dan ada keperluan apa?" Suara lelaki itu datar.
"Nanti kenalannya ya, mas. Cepat, tolong dibukakan gerbangnya. Saya mau masuk".
"Tapi ini sudah dikunci, Bu. Jadi nggak bisa!"
Lelaki itu membalikkan badan. Tak menanggapi permintaanku.
"Oke, mas. Aku janji traktir kalau mas bukakan gerbangnya," ucapku nekad. Demi bisa masuk ke kompleks sekolah.