Dia tak menghiraukan ucapanku. Dia menuju pos satpam dan kembali ke arahku berdiri. Aku tersenyum lega.
"Makasih ya, mas. Aku janji traktir kamu!"
Kuamati wajah cool di depanku itu.
"Mas ini guru apa ya? Mbok ya rambutnya dirapikan. Kalau kepala Sekolah tahu, bisa dimarahi lho".Â
Tanpa menunggu jawabannya, aku bergegas lari menuju kelas. Kudengar samar-samar, para siswa masih mengaji. Salah satu bentuk literasi di sekolah Islam terpadu, selain membaca buku-buku.
***
"Bu Niken, dipanggil bapak." Ucap Bu Sinta yang bangkunya berada di sebelah kananku.Â
"Iya, Bu. Sebaiknya Bu Niken lekas ke ruangan bapak!" Tambah pak Udin.
Aku mengangguk. Kuletakkan tas di kursiku. Lalu kuteguk teh di mejaku. Tenggorokanku terasa kering. Kuingat-ingat, aku memang belum minum sama sekali meski sudah sarapan. Mana di kelas suaraku harus super untuk mengimbangi suara riuh para siswa.
Segera kulangkahkan kaki ke ruang Kepala Sekolah. Kuketuk pintunya. Terus terang, aku sangat berdebar-debar.Â
Dari dalam ruangan, kudengar suara lelaki. Kuyakin, itu suara Kepala Sekolah. Tapi, kurasa aku pernah mendengarnya.