Manusia pasti selalu berharap segala sesuatu bisa dicapai dengan mudah. Pun dengan pekerjaan dan hasilnya ---gaji atau upah---. Namun terkadang harapan tak sesuai dengan kenyataan.
Saat Single, Bebas Hutang
Idealnya saat single ---belum menikah--- dan sudah bekerja kita bisa menyisihkan sedikit uang untuk ditabung. Meski gaji sebenarnya masih jauh dari UMR daerah.
Itulah yang saya rasakan saat masih single. Mengajar dengan status guru non PNS ---mulai 2005--- tentunya mendapat hasil jerih payah yang jauh dari yang diperkirakan orang lain.Â
Meski gaji tak seberapa, setiap bulan saya bisa menabung. Alhamdulillah. Dari hasil tabungan ini pada akhirnya bisa sedikit membantu pembiayaan saat bapak harus dirawat di rumah sakit beberapa kali.
Sebagai guru non PNS, dahulu ada yang namanya uang insentif ---antara 50ribu sampai 200an ribu/bulan---, Tunjangan Fungsional (TF) ---200an ribu/bulan--- dan Kelebihan Jam Mengajar (KJM) ---sesuai kelebihan jumlah jam mengajar---. Uang itu juga tidak saya gunakan untuk hura-hura. Meski terkadang ada teman yang sering bertanya, "Wah... uangnya bisa buat seneng-seneng ya, mbak."
Atau bahkan ada yang berkata, "Uangnya pasti banyak ya, mbak. Sering menerima uang kaya gitu..." Saya hanya mengamini dalam hati untuk perkataan seperti ini.
Setelah Menikah, Bagaimana?
Saya selalu berusaha untuk hemat dalam pengeluaran setiap bulannya. Toh orangtua juga sudah mendidik untuk hidup sederhana dan tidak neko-neko. Mereka memberi contoh dan mendidik agar anak-anak tidak manja dan mau berjuang jika ingin membeli sesuatu.Â
Setelah menikah pun cara hidup juga tidak neko-neko. Saya menyadari bahwa saya dan suami belum menjadi PNS. Jadi hidup sederhana saja. Yang penting semua tercukupi. Artinya rezeki yang tak seberapa ternyata barokah untuk keluarga. Itu yang utama.
Uang insentif, TF dan KJM akhirnya di-cut pada 2014. Kemudian saya mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (TPG). TPG ini saya peroleh setelah mengikuti PLPG dalam jabatan pada 2013.
Namun seiring bergulirnya waktu, ternyata kebutuhan semakin banyak. Padahal TPG (1,5 juta/bulan) sebagai guru non PNS cairnya tidak tentu juga waktunya. Apalagi ketika hadir buah hati dan terkadang ada sesuatu yang membuat pengeluaran harus melebihi pendapatan.Â
Akhirnya karena TPG yang ditunggu belum tentu cair pada setiap tiga bulan, mau tak mau harus pinjam uang juga. Terutama ketika ada keperluan yang benar-benar mendesak dan uang dari suami belum bisa mencukupi, seperti saat saya harus opname dan si bungsu opname.Â
Kesehatan memang perkara yang sangat saya prioritaskan. Dengan kesehatan saya dan keluarga akhirnya akan membuat tenang saat bekerja. Dan siapapun orangnya pasti ingin selalu sehat. Namun di saat tubuh memang harus istirahat beberapa hari, ya saya tak kuasa menolak juga.
Untuk keperluan opname, saya meminjam uang kepada saudara. Pastinya saya mencicil juga untuk membayarnya. Jadi setiap menerima TPG ---yang kadang cair dalam 3 bulan sekali atau bahkan pernah lebih dari setengah tahun belum menerima juga--- saya selalu berusaha untuk nyicil.
Bicarakan Baik-baik Jika Belum Bisa Melunasi Segera
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana saat TPG belum cair juga, padahal saya menjanjikan setiap TPG cair saya nyicil?
Sebenarnya saudara saya tidak nguyak-uyak saya untuk membayar utang. Bahkan dia tidak mencatat berapa uang yang dipinjamkannya untuk saya. Saya sendirilah yang mencatat.Â
Karena saudara tidak nguyak-uyak angsuran, saya sendiri yang merasa jadi tak enak juga. Saya bicara baik-baik kepada saudara kalau belum bisa nyicil. Alhamdulillah saudara bisa memahami. Saya bersyukur untuk hal itu.
Bahkan kalau nyicil, terkadang saudara malah bilang kalau bisa dicicil lain kali. Tetapi saya ya harus nyicil juga. Hutang adalah tanggungan hidup. Jika tidak terbayar sampai mati pun itu akan diperhitungkan juga di alam sana nantinya.
**
Jadi jika kita memang punya hutang kepada orang lain, ya harus dibayar. Kita harus menempatkan diri, bahwa mungkin saja orang yang meminjami uang ternyata saat tertentu membutuhkannya. Hanya dia bingung dan tidak enak untuk menagih.Â
Kalau ternyata orang yang meminjamkan uang kepada kita ternyata menagih, ya jangan marah atau bahkan menghindari. Bagaimanapun mereka berhak atas uang yang masih kita pinjam.
Kita tidak boleh lari dari kewajiban membayar utang. Jangan sampai, saat membutuhkan bantuan uang, kita seperti ngemis-ngemis. Giliran bayar utang malah "melarikan diri".
Jika belum mampu melunasi sekaligus, diangsur atau dicicil saja. Dengan menyicil bayar utang setidaknya mengurangi sedikit beban hidup dan bentuk penghargaan kepada orang yang telah membantu kita. Tentu kita harus berani berbicara pada orang yang meminjamkan uangnya kepada kita juga.Â
Melunasi utang atau menyicil utang, bukan karena melihat orang yang meminjamkan uang itu kaya atau tidak. Tetapi lebih pada perkara kita bertanggung jawab diri sendiri terhadap orang lain ataukah tidak. Â
Jangan sampai urusan utang, akhirnya membuat renggang atau bahkan terputusnya persaudaraan dan persahabatan juga mempersulit urusan di akhirat nanti.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H