Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Nomine Best in Fiction Kompasiana Awards 2024 Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Senja di Pantai Sepanjang

26 Juli 2020   08:01 Diperbarui: 26 Juli 2020   08:03 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: eksotisjogja.com

"Dengan menulis namaku di pasir dan tersapu ombak, kamu kira bisa melupakanku?"

Aku terhenyak mendengar suara itu. Suara berat dari lelaki yang beberapa bulan ini tak menjumpai dan menyapa hatiku.

**

Lelaki di sampingku pernah menyelamatkan hatiku dulu. Saat kekasihku menikah dengan perempuan lain. Perempuan itu tak lain adalah adik lelaki di sampingku.

Aku tak pernah menyangka kalau undangan darinya adalah undangan pernikahan adiknya dengan kekasihku. Jadi aku mendatangi pesta pernikahan bersama teman kantor.

Semula aku tak menduga kalau akan bertemu dengan saudara-saudara kekasihku. Aku masih positive thinking. Aku menduga kalau mereka dan lelaki yang mengundang teman kantor adalah saudara.

Namun begitu acara tiba, aku mendapat kejutan yang memilukan. Ya...kekasihku menikah dengan perempuan lain. Padahal kami tak ada masalah. Bahkan sehari sebelum pernikahan itu kami masih berkomunikasi seperti biasa. 

***

Aku yang terpukul dengan pernikahan kekasihku, tak segera pulang. Ke pantai. Itu pilihanku.

Pantai Sepanjang. Di mana aku pernah ke sana bersama kekasihku. Ah...mantan maksudku.

Kutulis namaku dan nama kekasihku di pasir sambil menanti deburan ombak menghapus nama kami. 

Kuyakin seiring terhapusnya nama kami maka aku bisa menghapus lukaku. Keyakinan yang bodoh. Menghapus luka tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Rasa sakit tetap mendera hati meski tulisan di pasir telah hilang oleh ombak pantai. 

**

Di saat pedih dalam hembusan angin darat, suara berat menyapaku.

"Kenapa meninggalkan pesta?"

Tak kuhiraukan sapaan lelaki itu. Lelaki yang termasuk senior di kantor dan nyaris tak memiliki selera humor. Apapun yang aku lakukan, selalu dikomentari dengan ketus olehnya.

"Kamu menangis? Kayak datang ke pernikahan mantan saja..." ucapnya sambil berlalu.

**

"Aku akan menemanimu di sini."

Pak Widi, nama lelaki bersuara berat itu, duduk di sampingku. Diulurkannya kopi dan cemilan untukku.

Aku menolaknya dan beranjak meninggalkannya.

"Aku antar kamu pulang..."

Meski aku menolak, dia tetap mengantarku.

"Kamu lagi kacau begitu. Kalau nggak diantar khawatir kalau kamu aneh-aneh..."

**

Sesampai di rumah, bulik marah-marah. Ya bulik sebagai ganti dari orangtuaku yang sudah tiada. Bulik merasa kalau aku telah membuatnya malu. 

"Jam segini baru pulang. Ke mana saja kamu, Ntik? Sama laki-laki lagi. Apa kata tetangga?"

Aku tak berkutik. Mataku yang sembab kembali meneteskan air mata. 

"Ini...nangis lagi. Kamu diapain sama laki-laki ini?"

Aku menggeleng. Bulik masih saja marah.

"Bu, saya nggak ngapa-ngapain kok. Tapi kalau ibu mengira saya aneh-aneh dengan putri ibu, saya siap bertanggung jawab..."

**

Aku dan pak Widi memang akhirnya dekat. Dia berniat mau mengenalkanku dengan keluarganya. Namun justru permasalahan berawal dari ini.

Waktu itu aku bersama pak Widi... maksudku mas Widi, ke rumah orangtuanya. Ternyata mereka baru saja pergi. Urusan bisnis.

Mas Widi menyiapkan minuman untukku. Dalam waktu bersamaan, Tian, mantanku yang juga ipar mas Widi baru saja pulang. Kami mengobrol, sekadar basa-basi.

Melihat itu, mas Widi marah. Ya...kukira dia cemburu. Tetapi bukankah dia sudah tahu kalau aku dan Tian pernah menjalin hubungan? Tian meninggalkan aku dan mas Widi yang bertekad membuatku kembali tersenyum. 

Jadi aku merasa kalau mas Widi siap jika aku dan Tian ngobrol. Mana mungkin ada saudara yang tidak pernah ngobrol gara-gara dulu pernah dekat?

"Mas, aku siap melanjutkan atau mengakhiri hubungan kita..."

Mas Widi diam seribu bahasa. Wajahnya lebih misterius dari sebelum aku dekat dengannya.

Sejak saat itu komunikasi kami terputus. Aku telah memblokir nomor kontak mas Widi. Tak menyapanya meski di kantor bertemu. Kukira itu keputusan yang tepat.

**

"Antik, maafkan aku. Aku melukai hatimu..."

Aku menghela nafas. Kupandang sunset di Pantai Sepanjang.

"Meski namaku yang kamu tulis di pasir putih sudah terhapus oleh ombak, kontakku kamu blokir...tapi aku yakin kalau kamu nggak bisa jauh..."

"Aku bisa, mas..." sahutku tanpa melihat mas Widi.

Cincin yang melingkar di jari manisku kulepas. Cincin pemberian mas Widi. Akan aku lakukan hal yang sama seperti saat Tian menikah dulu. Cincin pemberian Tian kularung di pantai agar semua kenangan bisa segera hilang.

"Pantang bagiku, perempuan melepaskan cincin dari jarinya." Mas Widi menahanku untuk tak melepas cincin itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun