Waktu itu aku bersama pak Widi... maksudku mas Widi, ke rumah orangtuanya. Ternyata mereka baru saja pergi. Urusan bisnis.
Mas Widi menyiapkan minuman untukku. Dalam waktu bersamaan, Tian, mantanku yang juga ipar mas Widi baru saja pulang. Kami mengobrol, sekadar basa-basi.
Melihat itu, mas Widi marah. Ya...kukira dia cemburu. Tetapi bukankah dia sudah tahu kalau aku dan Tian pernah menjalin hubungan? Tian meninggalkan aku dan mas Widi yang bertekad membuatku kembali tersenyum.Â
Jadi aku merasa kalau mas Widi siap jika aku dan Tian ngobrol. Mana mungkin ada saudara yang tidak pernah ngobrol gara-gara dulu pernah dekat?
"Mas, aku siap melanjutkan atau mengakhiri hubungan kita..."
Mas Widi diam seribu bahasa. Wajahnya lebih misterius dari sebelum aku dekat dengannya.
Sejak saat itu komunikasi kami terputus. Aku telah memblokir nomor kontak mas Widi. Tak menyapanya meski di kantor bertemu. Kukira itu keputusan yang tepat.
**
"Antik, maafkan aku. Aku melukai hatimu..."
Aku menghela nafas. Kupandang sunset di Pantai Sepanjang.
"Meski namaku yang kamu tulis di pasir putih sudah terhapus oleh ombak, kontakku kamu blokir...tapi aku yakin kalau kamu nggak bisa jauh..."