Kuyakin seiring terhapusnya nama kami maka aku bisa menghapus lukaku. Keyakinan yang bodoh. Menghapus luka tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Rasa sakit tetap mendera hati meski tulisan di pasir telah hilang oleh ombak pantai.Â
**
Di saat pedih dalam hembusan angin darat, suara berat menyapaku.
"Kenapa meninggalkan pesta?"
Tak kuhiraukan sapaan lelaki itu. Lelaki yang termasuk senior di kantor dan nyaris tak memiliki selera humor. Apapun yang aku lakukan, selalu dikomentari dengan ketus olehnya.
"Kamu menangis? Kayak datang ke pernikahan mantan saja..." ucapnya sambil berlalu.
**
"Aku akan menemanimu di sini."
Pak Widi, nama lelaki bersuara berat itu, duduk di sampingku. Diulurkannya kopi dan cemilan untukku.
Aku menolaknya dan beranjak meninggalkannya.
"Aku antar kamu pulang..."