Pov Indra
Malam ini aku masih saja memikirkan Nindi. Meski saat ini dia sudah menjadi milik orang. Tak sekadar berpacaran, tetapi telah menikah.Â
Nindi tersedu di sampingku saat mengatakan dirinya akan dilamar dan akan dinikahi lelaki di kampung halamannya. Entah apa sebabnya.
Kukira masalah keuangan. Aku tersenyum sinis dengan keadaanku yang tak bisa memperjuangkan kekasihku. Jangankan untuk menikahi dan menghidupinya, untuk membeli bensin saja aku sudah kesulitan.
Aku pikirr zaman modern seperti ini masih ada kisah Siti Nurbaya. Seorang gadis dinikahkan karena faktor ekonomi. Sungguh kasihan gadis seperti itu. Merasakan kepedihan karena kisah kasihnya diputus secara paksa oleh orangtuanya.
Yang jelas aku sangat kesal dengan Nindi juga. Kenapa tak berani menolak? Sedangkan dia sering bilang kalau aku cinta matinya.
Bohong semua!Â
***
Aku nekat mengirimkan pesan lewat WhatsApp. Menanyakan keadaannya. Aku yakin Nindi sangat bahagia dengan pesan-pesanku. Dan itu kulakukan hampir enam bulan.
Tak lupa, kukirimkan video saat aku memainkan gitar. Kunyanyikan lagu kesukaannya, yang menggambarkan kerinduannya jika berjauhan dariku, Pandangi Langit Malam Ini.
Lagu yang sangat romantis. Meski awalnya aku tak begitu suka karena aku pada dasarnya lelaki cuek. Namun demi Nindi, aku belajar menyukai lagu itu. Dan lagu itu, kini menjadi kenangan indah saat bersamanya.Â
Aku tersenyum saat kulihat pesan dan video yang kukirimkan sudah centang biru. Aku yakin, dia akan segera membalas pesan seperti biasa.
Lama kutunggu, tak juga ada balasan darinya. Aku gelisah, apa yang terjadi dengan Nindi? Akhirnya aku nekat meneleponnya. Nada sambung terdengar dari speaker gawaiku. Tak lama telepon diangkat.
***
Pov Nindi
Menikah dengan orang yang tak kucintai membuatku sangat sedih. Lelaki yang tak kukenal tiba-tiba datang ke rumah. Entah apa yang dibicarakan dengan bapakku.Â
"Nak Rayyan ingin menikahimu, ndhuk. Bagaimana?"
Aku terkejut mendengarnya. Kupandangi wajah bapak. Beralih kusapukan pandangan ke arah ibu.
Aku menjadi sangat kacau. Selama ini aku membayangkan akan melalui sisa hidup bersama Indra, kekasihku. Meski restu belum juga kami dapatkan, aku yakin kalau Indra bisa membuktikan bahwa dia lelaki baik dan bertanggungjawab.
"Alasan bapak...?"
Bapak tersenyum. Wajahnya tetap teduh. Namun aku tak berani menatapnya.
"Kamu jangan berpikir kalau mau menjadikanmu Siti Nurbaya, ndhuk. Nanti kamu tahu dengan sendirinya."
**
Enam bulan aku hidup bersama Rayyan. Tak ada yang istimewa. Dia tak menuntutku ini-itu. Aku diberi kebebasan untuk melakukan apapun. Justru itulah aku bisa melihat bagaimana kepribadian Rayyan. Dia termasuk penyabar.
Meski aku sering berlaku menyebalkan, dia tetap mengajakku berbelanja, makan di restoran, berwisata.Â
Hari ini aku diajak Rayyan berbelanja, aku sedang memilih bahan makanan. Sementara Rayyan entah di mana. Biasanya dia mengawalku.
Aku menghela nafas. Segera kubawa barang-barang belanjaan ke kasir. Begitu selesai membayar, aku melangkah ke parkiran. Namun belum sampai di parkiran, aku melihat Rayyan.
Di samping Rayyan ada seorang perempuan dengan rambut tergerai. Segera aku mendekati mereka.Â
**
Di ruang keluarga.Â
"Dia mantanku, dik..."
Aku mengangguk dan sudah menduganya. Tanpa sepatah kata keluar dari bibirku. Tapi entah mengapa, hatiku bergetar ketika mendengar kalau perempuan itu mantannya.
"Cantik ya, mas..."
Rayyan tertawa.Â
"Iya..."
Gawai yang kupegang berbunyi. Aku terkejut. Saat bersama Rayyan, Indra menghubungiku.Â
"Siapa, dik?"
Aku tak menjawab.
"Ada banyak hal yang tidak mungkin selalu diraih. Berpacaran dengan siapa, menikah dengan siapa..."
Gawaiku kembali menunjukkan notifikasi.Â
"Buka saja..." ucap Rayyan ringan.
**
Indra mengirimkan pesannya. Ada video juga yang ia kirimkan. Seperti biasa. Dia tanya kabarku, bilang rindu dan siap menungguku menjadi seorang janda.Â
Tiba-tiba aku bergidik membayangkan jadi seorang janda. Identik dengan hal negatif pasti. Aku mulai berpikir, bahwa lelaki yang baik tak pernah mendoakan orang lain segera berpisah dengan pasangannya.Â
Rayyan mendekati dan duduk di sampingku. Dia meraih dan mengangkat gawaiku saat Indra meneleponku. Lalu diletakkan di pangkuanku.
"Bicara saja, Nindi. Aku dengarkan," ucap Rayyan dengan suara lebih keras. Aku risih duduk di sampingnya.
"Apaan sih?"
Aku mau menutup sambungan telepon dari Indra, kembali Rayyan meraih gawaiku.Â
"Bilang saja kalau kamu nggak suka pas lihat aku sama Tiwi kan?" Rayyan mencoba menggodaku.
"GR kamu!"Â
Aku coba merebut gawaiku.Â
"Biar saja. Kalau kamu nggak cemburu, aku yang cemburu," ucap Rayyan.
Rayyan menatapku.
"Aku tak kan melepasmu..."
Hatiku berdebar. Rayyan dulu melepas Tiwi karena dianggap akan menguasai kekayaan keluarga Tiwi. Dia merasa harga dirinya diinjak-injak.
Hingga akhirnya dia bertemu bapak dalam kegiatan bakti sosial. Bapak mengajaknya ke rumah untuk dolan saja.
Kata bapak, Rayyan tiba-tiba ingin menikahiku setelah dikenalkan bapak. Alasannya biar tidak menanggung banyak dosa. Terlalu mengada-ada alasan itu bagiku.
Aku coba menolaknya. Semua terlalu terburu-buru. Aku tak mengenal Rayyan. Namun aku mengalah demi kebahagiaan bapak dan ibu.
**
Suasana hening. Bibir Rayyan mendarat di keningku. Aku tersipu.Â
Dari gawaiku yang dipegang Rayyan terdengar suara memanggil-manggil namaku. Ternyata Rayyan tak memutus sambungan telepon dari Indra.
"Nindi... halo. Nindi..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H