Saat itu aku tengah mengoreksi tes akhir tahun.Â
"Aku baru koreksi, Bulik. Ada apa?"
"Eh... banyak tetangga yang menjauhi kami. Mereka takut bertemu kami. Kalau mbak juga begitu, jangan ke rumah ya, mbak."
Haduh, batinku. Perkara PDP ini memang bisa membuat down keluarganya. Ya karena perlakuan tetangga. Tidak tahu diagnosa dokter tetapi sudah bersuudzon.
Terus terang rumahku dan rumah keluarga Mbah Dar hanya terpisah oleh gang. Aku tidak selalu ke rumahnya. Maklum, anak kecilku tak bisa duduk kalau di luar rumah. Maunya jalan terus. Jadi rumah selalu kukunci. Bahkan ketika belum ada virus Corona aku selalu mengunci pintu.Â
"Walah, Bulik. Jangan berpikir begitu. Kan aku kemarin juga ke rumahmu," balasku.
Ya...sehari setelah Mbah Dar diisolasi, aku bertandang ke rumah Mbah Dar. Ngaruhke untuk membesarkan hati keluarga Mbah Dar.
"Hahahah... siapa tahu mbak takut juga kayak tetangga lainnya."
Aku kembali meneteskan air mata. Bagaimana mungkin aku takut, wong penyakit yang diderita Mbah Dar bukanlah Covid 19. Hatiku turut merasakan derita keluarga Mbah Dar.
"Bulik, kalau mereka mengira dan menfitnah kalau mbah Dar kena covid 19, keluarga kami berada di belakang kalian. Tenang saja."Â
**