Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sebuah Keputusan Besar

27 Februari 2020   14:59 Diperbarui: 19 Juli 2020   08:16 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Juna memandangiku lekat-lekat. Dia masih saja menanyakan sikap dan keputusanku untuk menerima pinangan Rian.

Ya. Aku dan Juna selama bertahun-tahun menjalin hubungan asmara. Namun semua itu harus berakhir. 

Juna tak juga memiliki keberanian untuk melamarku. Memang orang tuaku tak memberikan restu untuk langkah kami. Jadi dia berusaha untuk meyakinkan orangtuaku pelan-pelan. Namun orang tuaku ternyata memiliki rencana untuk menjodohkan aku dengan salah satu karyawan perusahaannya.

Orangtuaku berpandangan bahwa lelaki pilihannya itu bisa membimbingku di masa depan. Lelaki bernama Rian itu bukanlah berasal dari keluarga berada. Namun dia termasuk lelaki yang ulet dan bertanggung jawab.

Di suatu kesempatan, Rian bertandang ke rumah. Penampilannya tak seperti lelaki yang kukenal. Dia sangat sederhana. Tentang fisik, kukira Juna lebih ganteng.

**

"Beri aku kesempatan, Ir. Tahun depan aku akan melamarmu..." bujuk Juna.

Hatiku sendiri sudah merasa lelah dengan hubungan tanpa restu. Sementara dia tak pernah mau menemui dan ke rumah. Sekadar meyakinkan bahwa dia serius dan mau menghadapi orangtuaku.

Tangan Juna menggenggam jemariku. Kuhela nafas. Kutarik tanganku.

Juna terkejut dengan kelakuanku. 

"Oke! Kalau kamu mau seperti itu. Lihat apa yang akan kulakukan!" suara Juna terdengar kesal.

**

Hari lamaran telah tiba. Orangtuaku terlihat sibuk dengan persiapan untuk menerima Rian. 

Aku sendiri juga menyiapkan diri. Kebaya kuning telah kukenakan. Dengan jilbab oranye menutup kepala.

Aku memutuskan untuk menerima lamaran dengan berbagai pertimbangan. Sahabat, saudara, semuanya mendukung keputusanku.

Dalam hatiku berkeyakinan bahwa jika mereka mendukung keputusanku, maka akan lebih dimudahkan segala hal yang akan kulalui nantinya. Restu orangtua dan keluarga adalah segalanya bagiku.

**

Sepupuku menemuiku di kamar.

"Ir, Rian dan keluarganya sudah tiba. Kamu segera ke depan ya..."

Kuanggukkan kepalaku. 

Kembali aku merapikan kebaya dan jilbabku. Segera aku menuju ke ruang tamu.

Di sana kulihat keluarga Rian telah duduk bersama saksi dari pihakku. Kudekati dan kusalami mereka.

Jantungku berdegup kencang kala hendak menyalami Rian. Penampilan Rian lain dari biasanya.

**

Acara lamaran hendak dimulai.

"Sebelum acara dilanjutkan, izinkan saya bicara dengan Ira, pak..." Rian meminta izin kepada kedua orangtuaku dan semua yang ada di ruang tamu.

Hatiku tidak karuan. Perasaanku tidak enak. Namun aku ikuti langkah Rian yang telah keluar dari ruang tamu. 

Rian mengambil tempat di kursi teras. Aku duduk di sampingnya. 

Lama Rian terdiam. Aku menjadi bingung dengan sikapnya. Dengan ragu aku memulai berbicara.

"Mas mau bicara apa?"

Rian menghela nafas. 

"Ir, hidup berumah tangga itu tak hanya untuk satu dua hari. Tak hanya menyatukan lelaki dan perempuan..."

"Iya, mas..."

"Keluarga besar juga disatukan oleh pernikahan. Jadi menikah bukan hal main-main..."

Aku mengangguk.

"Juna menemuiku tadi, Ir..."

Aku terkejut. Tak kusangka Juna nekat melakukan hal konyol.

"Dia memintaku untuk membatalkan rencana ini."

"Tapi..."

"Kau mencintainya. Juna juga mencintaimu. Aku tak mungkin berdiri di antara hati kalian..."

"Aku..."

Tiba-tiba ibu memanggil kami. 

"Keburu malam. Ini juga mau hujan, nak. Kita mulai acaranya ya..."

**

Hujan rintik-rintik di luar menjadi saksi peristiwa penting hidupku.

Orangtua Rian yang diwakili kepala dusunnya menanyakan kesediaanku untuk menjadi calon pendamping Rian.

Kutatap orang tuaku. Kupandang sekilas Rian. Kulihat ada keraguan di matanya.

Kutundukkan kepala. Kumencoba untuk menyusun kalimat untuk keputusanku. Keputusan terbesar di hidupku.

Aku seorang perempuan yang sering ingin dimanja dan dituruti segala inginku. Namun sudah saatnya aku menjadi perempuan dewasa. Perempuan yang memandang segala sesuatu dengan segala pertimbangan masak-masak.

"Lahir, jodoh dan kematian telah diatur oleh Allah. Saya hanya menjalani yang telah tertulis kala saya berada di rahim ibu..."

Air mata jatuh di sudut mataku. Kuusap pelan. 

"Dan kini waktunya jodoh untuk saya hadir..."

Ibu yang berada di sampingku mengusap punggungku. Menguatkan aku.

"Bismillah. Ayah-ibu izinkan saya menerima pinangan mas Rian..."

Air mataku berlinang. Ibu memelukku. Putri kecilnya akan segera menjadi bagian hidup orang lain. 

Jemari ibu mengusap air mataku.

Kualihkan pandanganku ke arah Rian. Kuanggukkan kepala dan tersenyum. Rona wajahnya cair seketika.

Ya. Aku yakin tadi dia sangat kacau karena kehadiran Juna. Dia khawatir akan membuat keluarganya malu.

Kini dia telah mendengar sendiri dari bibirku akan keputusanku. Dengan disaksikan orang-orang terkasihku dan terkasihnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun