Macan Tutul tampak resah. Dia terlihat berpikir keras. Sesekali dia berdiri, lalu duduk di batu besar yang berada di taman hutan tempatnya tinggal.Â
Semut yang melintasi batu tempat Macan Tutul duduk menjadi heran. Biasanya Macan Tutul tampak tenang dan sesekali usil padanya. Apalagi kalau bukan karena tubuhnya yang sangat kecil sehingga Macan Tutul mengolok-olok Semut.
Sampai akhirnya karena kesal, Semut masuk ke telinga Macan Tutul saat tidur, untuk memberikan pelajaran. Semut mau menunjukkan bahwa dirinya yang sangat kecil pun bisa mengalahkan Macan Tutul yang tubuhnya besar dan tinggi.
Akibatnya Macan Tutul yang saat itu sedang tertidur pulas, tiba-tiba terbangun dan menjerit-jerit. Dia berteriak karena telinganya sakit. Sementara Semut yang masih di dalam telinga Macan Tutul tertawa terbahak-bahak.
"Hentikan gigitanmu, Semut!" pinta Macan Tutul saat tahu bahwa Semutlah yang membuat telinganya sakit.
Dari dalam telinga, Semut berbicara pada Macan Tutul.
"Baiklah, aku akan keluar. Tapi kamu harus janji padaku hai, Tutul sombong!"
"Iya, aku janji. Sebutkan saja apa yang kamu inginkan..."
Semut tidak segera memberikan jawabannya hingga membuat Macan Tutul penasaran.
"Cepat katakan, Semut! Jangan siksa aku begini..."
"Baiklah. Kamu tak boleh mengejekku dan teman-teman yang kecil. Dan kamu harus minta maaf pada semua binatang yang kamu sakiti..."
Macan Tutul mengalah dan memenuhi permintaan Semut. Begitulah kisah Macan Tutul sombong yang akhirnya sangat takut kalau bertemu dengan Semut.
Semut tersenyum mengingat hal itu. Namun dia sangat penasaran dengan yang terjadi pada Macan Tutul kali ini.
"Hai, Tutul...apa yang terjadi padamu?" tanya Semut.
Macan Tutul terkejut ketika melihat Semut. Dia menjadi sangat takut melihatnya.
"Kamu tak usah takut padaku hai, Tutul!"
Macan Tutul terdiam. Wajahnya terlihat pucat, saking merasa khawatir kalau akan digigit Semut lagi.
"Sudahlah. Katakan padaku. Kita kan sudah saling memaafkan. Jadi kita sudah berkawan. Kau ingat kan?"
Macan Tutul mengangguk. Pelan-pelan dia menceritakan bahwa dirinya ditantang oleh Gajah untuk bisa makan rumput. Tentu itu sangat sulit dilakukan oleh Macan Tutul. Kalau Macan Tutul kalah maka dia harus mau menjadi pelayan Gajah selamanya.
Sebaliknya kalau Macan Tutul menang maka Gajah akan menjadi pembantu Macan Tutul selamanya. Tentu saja tantangan itu terasa sulit dimenangkan Macan Tutul. Apalagi Gajah terkenal sebagai binatang yang kejam dan licik. Macan Tutul pernah dikejar Gajah, hingga dia terpaksa naik pohon untuk menghindari serangan Gajah.
"Tenanglah. Aku akan membantumu hai, Tutul. Kapan pertandingan makannya?"
"Besok pagi..."
**
Keesokan harinya, Macan Tutul terlihat tenang ketika menunggu Gajah untuk bertanding makan rumput. Dia yakin, Semut akan membantunya.
Sebelumnya, tadi Semut menyuruh Macan Tutul untuk mengumpulkan daging buruannya.Â
"Untuk apa daging itu, Semut? Aku sudah sarapan tadi. Kamu makan pun tak banyak..."
"Nanti kamu tahu sendiri, Tutul..."
Macan Tutul hanya menuruti perkataan Semut. Semut bersembunyi di daging yang dibawa Macan Tutul.
**
Macan Tutul dan Semut menunggu kedatangan Macan. Tak lama kemudian, Gajah datang.
"Hai...Tutul. Bagaimana, sudah siap bertanding denganku...?"Â
"Siap!!"
Gajah terlihat sedikit kaget mendengar jawaban Macan Tutul. Gajah ingat betapa takutnya Macan Tut waktu dia menantangnya untuk makan rumput.Â
"Kamu yakin?"
Macan Tutul mau menjawab pertanyaan Gajah. Tapi dari dalam daging dekat mereka terdengar suara Semut.
"Ahhh...kalian berdua. Kenapa ribut-ribut pagi ini? Kalian mengganggu istirahatku!" ucap Semut.
Gajah tertawa.Â
"Hahahah... sudahlah. Kamu tak usah marah, Semut! Begini, pagi ini aku dan Tutul akan bertanding..."
Gajah lalu menceritakan hal tantangannya. Semut menyimak.Â
"Kamu bisa menjadi jurinya, Semut!" seru Gajah.
"Aku nggak mau! Pasti waktunya lama. Aku harus mencari makan untuk musim hujan nanti..." sahut Semut.
"Yakinlah. Pertandingan ini akan cepat selesai. Pertandingannya sekali makan rumput terus muntah, otomatis dia kalah..."
Semut manggut-manggut.
"Oke. Aku mau menjadi juri kalian. Tapi biar lebih seru ada pertandingan tambahan dan pertandingannya lebih dulu daripada  makan rumput segar itu"
Tanpa berpikir panjang, Gajah menyanggupi. Dia yakin akan menang, apalagi dia merasa sangat cerdas. Mustahil untuk dikalahkan.
Sementara Macan Tutul menjadi agak khawatir. Soalnya Semut tak membicarakan pertandingan awalnya. Dia diam seraya berdoa untuk pertandingannya melawan Gajah yang sombong.
"Begini. Aku tinggal di daging ini. Aku merasa rumput dan daunnya terlalu banyak. Aku jadi kegerahan. Nah, bagaimana kalau kalian berdua menguranginya?"
Gajah berpikir keras begitu mendengar pertandingan tambahan itu.
"Baiklah. Aku setuju! Tapi dagingnya dibagi dua..." Seru Gajah. Dalam hati dia tidak yakin untuk makan daging. Namun dia menyanggupinya.
"Usul yang bagus. Biar Tutul yang membagi secara adil menjadi dua bagian..."
Macan Tutul segera membagi daging menjadi dua, masing-masing sama banyaknya.
**
Pertandingan akan segera dimulai.Â
"Kalian harus menghabiskan jatah kalian masing-masing. Kalau ada yang tak menghabiskan jatah daging, pertandingan tidak dilanjutkan! Tidak ada pertandingan kedua..."
Gajah dan Macan Tutul mengangguk. Tak lama kemudian, Semut memberikan aba-aba.
"Satu... Dua... Tiga...!"
Gajah dan Macan Tutul segera makan daging, jatahnya masing-masing. Kebetulan Macan Tutul sudah merasa lapar ---meski sudah sarapan sebelumnya--- sehingga daging jatahnya cepat habis.
Sedangkan Gajah dengan susah payah makan daging. Dia kesulitan untuk menelannya. Tak jarang dia memuntahkan daging yang tak tertelan.Â
Semakin lama, Gajah semakin eneg makan rumput dan daun. Setiap kali memasukkan daging, Gajah muntah duluan.
"Ayo. Cepat habiskan..." seru Semut.
Gajah akhirnya menyerah. Dia tak terbiasa makan daging. Jadi percuma untuk melanjutkan memakannya.
"Aku tak bisa makan ini, Semut. Aku muntah terus. Aku jadi lemas..."
Semut tersenyum. Dia melihat Gajah yang lemas.
"Nah... Gajah, kamu bisa merasakan kalau makan daging itu nggak enak. Itu bukan kebiasaanmu. Kamu muntah karenanya. Iya kan?"
Gajah mengangguk pelan. Macan Tutul mengambilkan air dari sungai untuk Gajah, lalu diberikan kepada Gajah agar tidak lemas.
"Yang bisa dilakukan Tutul, ternyata tak bisa kamu lakukan. Sebaliknya, yang biasa kamu lakukan juga tak bisa dilakukan oleh Tutul, seperti makan makan rumput..."
Gajah mengangguk.
"Nah makanya, kamu tak boleh menantang binatang lain. Apalagi kalau kemampuan dan kebiasaannya berlainan. Kalian punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Bukan untuk disombongkan..." terang Semut.
"Iya, Semut. Aku minta maaf..."
"Kamu jangan minta maaf padaku. Minta maaflah pada Tutul..."
Gajah mendekati dan memandang Macan Tutul yang berada di depan Semut.
"Maafkan aku ya, Tutul. Aku nggak akan mengolok-olokmu. Aku nggak akan menantangmu lagi..."
Macan Tutul tersenyum bahagia.Â
"Aku memaafkanmu, Gajah. Aku senaaaang sekali. Apalagi kalau kita bisa berteman dan bermain bersama..."
Sejak saat itu Gajah, Semut dan Macan Tutul bersahabat. Saling membantu, bermain dan hidup rukun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H