Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekar

17 November 2019   08:25 Diperbarui: 17 November 2019   08:30 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dewiku.com

Di sebuah pinggir hutan, hiduplah seorang janda bersama seorang anak perempuan yang beranjak remaja. Mereka tak pernah hidup damai, sepeninggal ayah si perempuan kecil malang itu. Mau tak mau perempuan kecil malang itu hidup bersama ibu tiri yang sering menyakitinya. Sejak ayahnya hidup sudah memperlakukannya kejam. Ibu tirinya tak pernah menyayanginya. Dia hanya pura- pura perhatian ketika ayah si anak itu berada di rumah tua, peninggalan almarhum simbahnya.

Si anak perempuan itu bernama Sekar. Dia tak pernah mengadukan perilaku ibu yang memperlakukannya seperti seorang pembantu. Dia pernah mengadu tetapi yang didapatkannya hanya rasa sedih karena ayahnya marah. Ya...ayahnya tak pernah melihatnya diperlakukan buruk oleh ibunya. Sang ayah selalu melihat ibu sangat perhatian, merapikan rambut, menyiapkan makanan ketika ayah berada di rumah. Jadi laporan jika diperlakukan buruk hanya dianggap sebagai kebohongan. 

"Sejak kapan kamu belajar bohong, Sekar??!" tanya ayah dengan suara tinggi.

Sekar hanya tergugu sambil menundukkan kepalanya. Apalagi dia diancam akan diusir oleh ayahnya. Sejak saat itu, apa yang dialaminya selama ayahnya bekerja di kota tak diceritakannya lagi. Hanya senyuman kecut yang ditunjukkan Sekar ketika ayah pulang kerja dan menanyakan pengalamannya.

**

Suatu hari, Sekar ingin menghibur hatinya yang sedih. Dia keluar rumah setelah pekerjaan rumah selesai. Aturannya seperti itu jika dia ingin keluar rumah. Kalau belum selesai pekerjaannya lalu dia bermain maka dia akan dijewer dan diomeli ibunya. Tak jarang dia tidur dalam keadaan perut kosong.

Sekar menuju sungai jernih, tak jauh dari rumahnya. Dilihatnya ikan berenang di air sungai yang jernih. Sesekali angin berhembus. Sejuk. Beberapa daun kering jatuh ke air sungai. Membuat bayangan ayu wajah Sekar buyar karenanya.

"Ah...daun. Kamu sedikit mengganggu kacaku..." ucapnya lirih. Tak lama kemudian, air tenang kembali. Sekar tersenyum. Dia memang sangat senang mengaca pada air sungai itu sambil melihat ikan dan mendengar suara burung yang bertengger atau mulai meninggalkan sarangnya.

"Hai, gadis kecil. Apa yang kamu lakukan di situ?"

Sekar terkejut. Rasanya tadi tak ada siapapun di sekitar sungai. Tak ada suara langkah seseorang mendekat juga. 

Dengan perasaan takut, dia memandang seorang perempuan tua yang wajahnya sedikit menyeramkan. Sekar ingin berlari namun diurungkannya.

Perempuan tua itu meminta tolong padanya.

"Nak, apa kamu bisa bantu bawakan air sampai ke rumahku?"

Sekar melihat perempuan itu memegang wadah air lalu mengisinya dengan air sungai yang jernih itu.

"Baiklah, nek..."

Dengan susah payah Sekar membantu perempuan itu. Meski tangannya terasa pegal namun dia merasa kasihan kalau perempuan itu kelelahan.

Di tengah perjalanan perempuan tua itu bercerita kalau dia mau menyiapkan makanan untuk anak dan cucunya yang mau pulang ke kampung mereka. Namun sumur di rumahnya mengering karena kemarau panjang. Padahal suaminya baru sakit.

**

Setelah lama berjalan sampailah mereka di sebuah rumah kecil namun bersih dan rapi. 

"Bantu bawa masuk ke dapur ya, nak..."

Perempuan tua itu membukakan pintu menuju dapur. Diletakkannya wadah air di pojok dapur sesuai permintaan perempuan tua itu.

"Kamu istirahatlah dulu, nak. Biar nenek memasak dulu..."

Karena kelelahan membawa air, Sekar tertidur.

**

Sore hari.

Sekar perlahan membuka matanya yang masih berat. Dia terperanjat ketika mendapati hari sudah mulai sore. Dia bergegas bangun dan mau pulang.

"Sudah bangun kau, nak..." sapa perempuan tua itu.

"Ah...iya, nek. Aku tidur lama sekali..."

"Iya, nak. Nenek tak tega membangunkanmu. Kamu terlihat pulas sekali..."

Sekar tersenyum. 

"Saya pamit.dulu, nek. Ibu bisa marah besar padaku kalau aku tak sampai rumah sebelum maghrib. Aku harus memasak untuknya..."

Sekar menyalami perempuan itu. Dia berjalan tergesa. 

"Nak, tunggu!" perempuan tua itu memanggil dan mendekatinya.

"Bawalah ini untuk ibumu..."

Perempuan tua itu menyerahkan sebuah bungkusan. Baunya harum. Sekar senang sekali menerimanya.

**

Sampai depan rumah. Dilihatnya rumah sepi. Tak seperti biasa. Biasanya ibu berada di teras dan langsung marah kalau dia pulang terlambat.

Sekar segera membuka pintu rumah. Sepi. Dia menuju kamar ibu. Dia ragu untuk membuka pintu kamar ibu. Tapi samar- samar dia mendengar suara ibu seperti menahan sakit. Ibu mengeluh.

Perlahan dibukanya pintu kamar ibu. 

"Ibu... ibu kenapa?" Sekar melangkah ke arah pembaringan ibu. Disentuh dahi ibunya. Terasa panas sekali.

"Ibu makan terus minum obat ya..."

Sekar menuju dapur dan menyiapkan makan untuk ibunya. Dibawanya ke kamar ibu. Ibu diisuapinya perlahan.

"Dari mana kamu mendapatkan sup lezat ini?"

Sekar tersenyum dan bercerita pengalamannya hari ini. 

"Ibu istirahat ya. Nanti Sekar kompres ibu biar cepat sembuh..."

Ibu yang telah minum obat segera beristirahat. Sekar menunggui ibunya sembari mengompres kening ibu. 

**

Pagi harinya. Sekar terbangun. Namun tak dijumpai ibunya di pembaringannya. Sekar mengucek mata lalu berdiri.

Dari arah dapur, dia mencium aroma masakan yang sedap. Sekar menuju dapur. Dilihatnya ibu sedang memasak.

"Ibu kan masih sakit, kenapa memasak? Biar aku saja..."

"Tak apa, nak. Ibu sudah baikan. Tadi ibu lihat kamu tidur nyenyak setelah semalam berjaga menungguiku..."

Ibu tersenyum. Sekar bahagia sekali, ibu adalah pengganti ibu kandungnya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Dia selalu sayang ibu meski sering menyakitinya. Kini, senyum ibunya itu membuat Sekar semakin sayang ibu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun