Sejak kemarin sore sampai Minggu sore ini aku belum menghubungi Sherly sama sekali. Rasanya dua hari ini sangat melelahkan. Sabtu ikut persiapan hari raya Idul Adha bersama panitia lainnya. Malam hari ikut takbir keliling, mengoordinasi pengurus TPA dan santri biar takbir keliling bisa lancar.
Setelah takbir keliling istirahat demi aktivitas Minggu yang pasti lebih menguras tenaga. Menjadi panitia kurban, membantu proses penyembelihan hewan kurban dan mendistribusikan kepada shohibul kurban dan para warga sekitar.
Kini selesai sudah penyembelihan hewan kurban serta pendistribusiannya. Tinggal lelah yang terasa. Sesampai di rumah, rendang masakan ibu sudah siap di meja.
"Kalau mau makan sudah ibu masakkan rendang, Sang..."
Ibu secara halus menyuruhku makan. Ya memang, aku tak biasa makan di lokasi penyembelihan hewan kurban. Rasanya melihat daging sudah kenyang duluan. Meski sebenarnya panitia sudah memasak nasi dengan urap dan daging, aku lebih suka makan di rumah.
"Ya, bu. Aku mandi dulu. Bau kambing ini..."
Ibu tertawa mendengar ucapan yang asal dari mulutku. Tanpa jawaban dari ibu, aku melesat, meraih handuk di tempat jemuran dan mandi.Â
Selepas itu barulah aku menuju meja makan. Tak tega rasanya melihat masakan ibu tak tersentuh tanganku. Kasihan juga perutku yang menahan lapar. Di lokasi penyembelihan hewan aku hanya minum dan menikmati snack ringan saja.
Aku mengambil piring, mengisi dengan nasi dan rendang masakan ibu. Kuambil duduk di dekat jendela saja, biar mendapat udara dari luar.Â
Sambil menikmati makanku, aku mengecek HP yang sedari pagi tak kubuka. Ada banyak pesan yang masuk. Dari keluarga kampus, alumni SD, alumni SMP, alumni SMA, alumni kuliah. Itu sudah ribuan chat yang masuk.Â
Aku belum tertarik membuka chat WAG tadi. Aku mengecek pesan pribadi saja, kuprioritaskan dari Sherly. Kangen juga chat dengannya. Biasanya setiap hari, bisa ratusan chat dengannya. Untuk hari ini hanya ada chat dari Sherly.
"Met Idul Adha, mas..."
"Jangan lupa sarapan dulu sebelum ke lokasi penyembelihan hewan ya..."
"Makan siang dulu, mas..."
"Jaga kesehatannya..."
"Shalat Asar dulu, mas. Oke!"
Semua pesan itu belum kubalas sampai jelang Maghrib. Semoga kekasih hatiku itu tidak ngambek.
"Sore, Sayang. Maaf, mas baru buka HP. Jangan ngambek ya..."
"Mas baru makan sekarang. Dimasakkan rendang sama ibu..."
"Iya, tenang saja. Aku makan dan shalat tepat waktu. Kamu sendiri juga makan dan shalatnya yang sip ya..."
"Kamu kan calon ibu dari generasiku. Aku ingin ibu anak-anakku adalah ibu yang shalihah..."
Chat yang kukirim belum dibaca Sherly, apalagi direspon. Kukira dia sedang berkumpul bersama keluarga besarnya. Kudengar kalau lebaran haji seperti ini keluarga mereka berkumpul, selain ketika Idul Fitri.
Kuhabiskan makanku. Mau persiapan ke masjid juga. Aku mulai menertibkan diri untuk beribadah, sebelum aku memulai biduk rumah tangga dan berperan sebagai imam bagi istri dan anak- anakku kelak.
Tanpa pesan kenegaraan Sherly untuk shalat, aku harus menyadari diri sebagai lelaki. Aku sadar bahwa menikah harus siap lahir batin. Menikah tak seindah yang terbayang saat ini tapi harus diperjuangkan terus dengan kesiapan lahir batin baik sang suami maupun istri.
**
Selepas Isya, aku agak risau juga. Kulihat chatku sudah dibaca Sherly, tapi tak ada respon apapun. Tak seperti biasanya. Kalau menerima pesanku dan sudah membacanya, langsung dia balas. Aku jadi khawatir juga kalau dia ngambek.
Daripada aku galau tak karuan, aku Video Call Sherly. Sekali dua kali tak ada respon juga. Untuk ketiga kalinya aku hubungi dia lagi. Alhamdulillah akhirnya diangkat juga Video Call- ku.
Perempuan ayu berjilbab biru menyapaku dengan senyum indahnya. Benar- benar membuat duniaku menjadi indah, penuh bunga dan bintang. Iya...karena dia bungaku dan bintang hatiku.
"Kamu tadi kenapa tak membalas chatku?"
"Chat apa, mas?"
Sherly terlihat tak memahami pertanyaanku. Atau mungkin dia baru mengetes kesabaranku. Hmmm...aku harus sabar. Ingin kudengar alasannya. Semoga alasan yang bisa menenangkan hati dan perasaanku.
"Coba kamu cek..."
Ahh...kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutku? Seolah tak ada kalimat lain yang lebih enak didengar.
"Ya udah. Mas tutup dulu telponnya..."
Sherly merespon cepat dari ucapanku tadi. Aku jadi terhenyak sendiri. Aku sadar dengan ucapanku. Baru saja diangkat teponnya kok aku malah agak sewot. Â Aku harus meralat ucapanku, daripada Sherly yang menutup teleponnya.
"Ya...nanti saja ngeceknya..."
"Terus...?"
Aku berpikir keras, mesti ngomong apa. Semua pertanyaan di kepalaku tiba- tiba berlarian entah ke mana.
"Aku kangen kamu, Sher. Kamu ngapain saja sehari ini...? Maaf ya...mas seharian ini sibuk. Jadi nggak sempat baca dan balas chatmu.."
Sherly tertawa kecil.
"Tak apa, mas. Aku paham kok. Lagian sehari ini aku juga bantu- bantu masak di rumah nenek..."
"Oh ya...? Masak apa?"
"Masak air, mas..."
Sherly tersenyum. Aku tahu, kali ini dia bercanda. Tak mungkin seharian sibuk masak air. Masak air butuh berapa lama sih. Aku sebagai lelaki juga tahu kalau masak air tak butuh waktu sampai berjam- jam.
"Kamu ditanya kok malah bercanda..."
"Ya cuma bantu saja kok, mas. Sambil latihan masak..."
"Alhamdulillaah... Latihan masak buat masakin mas kalau sudah mas nikahi ya, Sher...?"
Sherly tertawa sambil menutup bibir dan pipinya dengan tangan kirinya. Ah... Senyum indah khasnya tak terlihat.Â
"Kok tertawa, Sher? Tertawa saja pakai nutup pipimu gitu..."
"Nggak apa- apa, mas..."
"Eh... Sher, aku serius ini. Aku seneng kamu latihan masak. Meski aku tak terlalu menuntutmu masak setiap hari..."
Sherly tak menanggapi ucapanku. Mungkin dia bingung mau berkomentar apa.Â
"Lebaran haji tahun depan semoga aku sudah menjadi bagian dari keluargamu Sher. Biar bisa tahu kamu masak apa dan masak air seberapa kalau lebaran haji..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H