"Penjelasan? Penjelasan apa yang mas maksud? Jika mas sendiri sudah mengambil keputusan untuk mempertahankan..."
Tak kulanjutkan ucapanku. Aku lepas kontrol. Sudah seharusnya aku tak berharap jauh akan hubunganku dengan ayah Husna. Apalagi mengatakan sebuah pernyataan bodoh seperti yang kulakukan tadi.Â
Ayah Husna mengambil kursi dari meja Bu Eka. Diletakkannya di samping kursiku. Diambilnya posisi untuk saling berhadapan denganku  Aku tahu dia menatapku.
"Putri... Iya, kamu benar. Aku akan mengambil keputusan atas rumah tanggaku. Aku ingin membicarakannya denganmu. Tapi kemarin kamu malah pulang duluan..."
Air mata yang tertahan sejak tadi, akhirnya tumpah juga.Â
"Put, kuharap air matamu itu lahir karena kamu bahagia. Aku inginkan itu, Put..."
Ibu jari tangan kanan ayah Husna menyeka air mataku.Â
"Put, lihat aku..."
Ayah Husna memajukan posisi duduknya. Antara wajahku dan wajahnya hanya tersisa beberapa centi. Mata kami bertatapan. Tak lama kutundukkan wajahku.
"Kamu sudah tahu keputusanku, Put?"
Ayah Husna bertanya, seolah memastikan dan meyakinkan kebenaran dugaanku. Aku hanya mengangguk. Sepintas kulihat dia mengeluarkan sebuah kotak dari saku celananya. Lalu kotak itu dibukanya. Kulihat cincin cantik di kotak itu. Pastilah untuk Intan, istrinya.