Ayah Husna dan Dino akhirnya bertemu. Dino ingin bertemu Intan ---istri ayah Husna--- dan anaknya. Mereka bicara empat mata. Aku sendiri tak mau terlalu mencampuri urusan mereka berdua.Â
Aku berusaha dan belajar untuk membunuh rasa cemburu pada ayah Husna. Aku tahu posisiku. Aku bukanlah siapa- siapa bagi ayah Husna. Aku hanya bagian dari masa lalunya saja.
Jika akhir- akhir ini sering terjadi komunikasi antara aku dan ayah Husna, semata- mata demi kebahagiaan Husna. Biarlah Husna merasakan kasih sayang ibu dan ayahnya.
Sisi romantisme yang kadang terjadi, kurasa hanya sebuah kesalahan dan ketidaksengajaan. Aku sadar bahwa aku dan ayah Husna tak mungkin bersatu lagi. Akan ada banyak pihak yang terluka jika kami nekat untuk menyempurnakan kisah kami.
*
Kulihat kedua lelaki itu bersitegang. Entah apa yang dibicarakan. Biarlah mereka selesaikan permasalahan yang mendera mereka. Aku hanya melihat dari bangku yang cukup jauh dari tempat mereka bicara.
Sesekali keduanya melihat ke arahku. Tatapan ayah Husna menggambarkan rasa kesal. Sementara Dino tersenyum sinis ke arah ayah Husna. Jika aku boleh memilih, rasanya aku ingin pergi dari tempat ini. Aku tak ingin menyaksikan perseteruan mereka berdua.
Sampai akhirnya ayah Husna menggebrak meja di hadapannya. Lalu kedua tangan ayah Husna mencengkeram kerah Dino.
**
"Dia lelaki kurang ajar. Seenaknya mau mengambil Intan dan Dewi..."
Ayah Husna mulai bercerita tentang Dino. Wajah ayah Husna terlihat tegang. Sepertinya dia memang tak merelakan anak dan istrinya lepas dari sisinya.
Meski aku berusaha membunuh cemburu nyatanya hatiku teriris. Namun aku tetap berada di sisi ayah Husna, mendengarkan keluhannya. Ah...mas, tahukah kamu kalau aku tak terima dengan keluhanmu itu?
**
Aku menyimak curahan hati ayah Husna itu. Dia tak mau melepaskan anak istrinya.Â
"Selama ini aku menyia- nyiakan mereka, Put. Tapi di saat laki- laki kurang ajar itu ingin mengambil Intan dan Dewi, rasanya ada yang hilang..."
Aku tersenyum meski air mata kutahan.Â
"Itu artinya mas mencintai mereka..."
Aku bangkit dari dudukku.Â
"Mas pertahankan mereka, mas. Kukira itu tidak keliru..."
Aku beranjak. Kumelangkah ke arah tempat parkir di mana motorku berada. Tak kuhiraukan suara ayah Husna yang mencoba menahanku. Sungguh, aku tak kuasa dengan pengakuan ayah Husna itu.
*
Keesokan paginya di sekolah. Aku bersama guru lain menyambut kedatangan para siswa seperti biasanya. Ayah Husna terlihat berjalan ke arah kami.Â
Aku buru- buru berbalik ke arah kantor guru setelah aku bicara dengan Bu Reni yang berada tepat di sebelah kananku. Aku tak ingin bertemu dengan ayah Husna. Aku tak bisa menguasai hatiku jika berada di dekatnya.Â
Dengan langkah cepat aku menuju kantor guru. Aku bergegas duduk di meja guru khusus untukku.
"Putri...boleh aku bicara denganmu?"
Ayah Husna telah berada di depan pintu kantor. Kulihat sekilas lelaki itu.Â
"Kalau ingin bertemu Husna, mas bisa cari di kelasnya..."
Ayah Husna masuk kantor dan mendekatiku.
"Kenapa kemarin kamu pulang duluan, Put...?"
Aku tak bergeming dengan pertanyaan itu. Tak berani pula aku menatap wajah ayah Husna.
"Katakan, Put. Apa yang terjadi denganmu...?"
"Sudahlah, mas. Mas pergi saja..."
"Aku tak akan pergi jika tak ada penjelasan darimu..."
"Penjelasan? Penjelasan apa yang mas maksud? Jika mas sendiri sudah mengambil keputusan untuk mempertahankan..."
Tak kulanjutkan ucapanku. Aku lepas kontrol. Sudah seharusnya aku tak berharap jauh akan hubunganku dengan ayah Husna. Apalagi mengatakan sebuah pernyataan bodoh seperti yang kulakukan tadi.Â
Ayah Husna mengambil kursi dari meja Bu Eka. Diletakkannya di samping kursiku. Diambilnya posisi untuk saling berhadapan denganku  Aku tahu dia menatapku.
"Putri... Iya, kamu benar. Aku akan mengambil keputusan atas rumah tanggaku. Aku ingin membicarakannya denganmu. Tapi kemarin kamu malah pulang duluan..."
Air mata yang tertahan sejak tadi, akhirnya tumpah juga.Â
"Put, kuharap air matamu itu lahir karena kamu bahagia. Aku inginkan itu, Put..."
Ibu jari tangan kanan ayah Husna menyeka air mataku.Â
"Put, lihat aku..."
Ayah Husna memajukan posisi duduknya. Antara wajahku dan wajahnya hanya tersisa beberapa centi. Mata kami bertatapan. Tak lama kutundukkan wajahku.
"Kamu sudah tahu keputusanku, Put?"
Ayah Husna bertanya, seolah memastikan dan meyakinkan kebenaran dugaanku. Aku hanya mengangguk. Sepintas kulihat dia mengeluarkan sebuah kotak dari saku celananya. Lalu kotak itu dibukanya. Kulihat cincin cantik di kotak itu. Pastilah untuk Intan, istrinya.
"Cincin itu cantik, mas. Pasti mbak Intan menyukainya..."
"Cincinnya cantik?" ayah Husna menyelidik pada raut mukaku yang sudah sembab. Kuanggukkan kepalaku.
"Iya, Put. Cincin ini cantik dan sengaja kupilih untuk perempuan paling cantik yang pernah kukenal..."
Ah...Mbak Intan sangat beruntung mendapatkan kasih sayang ayah Husna. Kutahu, perempuan cantik itu pantas mendapatkannya.Â
Kalau aku sendiri, sudah cukup bersama Husna. Selepas keputusan ayah Husna, secepatnya aku akan mengajukan gugatan cerai. Aku akan memiliki kehidupan sendiri dan berbahagia bersama gadis kecilku, Husna.
Ayah Husna meraih tanganku. Lalu meletakkan kotak cincin itu di tanganku.
"Kau kenakan atau simpan cincin ini ya, Put..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H