Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bertemu Lagi

5 Juli 2019   06:21 Diperbarui: 5 Juli 2019   06:35 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih bertahan. Aku ingin berada di pantai ini sendirian. Sementara ayah Husna terlihat galau dan letih. Kubiarkan dia memutuskan sendiri untuk berada di sini atau tidak. 

"Put, teman kamu tadi telepon..."

"Aku tak peduli, mas. Aku menyesal telah mengabaikan Husna..."

Kulihat ayah Husna kebingungan untuk mulai menceritakan sesuatu. 

"Ini tentang Husna, Put..."

 Aku terkejut mendengar ucapan ayah Husna baru saja. 

"Kita pulang dulu. Nanti ada sesuatu yang bisa kamu tau..."

*

Terpaksa aku ikuti ayah Husna. Saat ini aku dan ayah Husna berada dalam perjalanan pulang. Aku lelah, pusing, tapi mataku pedih dan tak bisa terpejam. Kuingat kesalahan demi kesalahan yang kulakukan pada putriku itu. 

"Mas, maafkan aku. Tak menjaga Husna. Tak seharusnya juga aku menyalahkanmu..."

"Tak apa, Put. Ini menjadi pengingat untukku juga. Aku bukan ayah yang baik untuknya..."

Ayah Putri menghela nafas panjang. 

"Mungkin ini cara Allah mendekatkan aku dan kamu. Atau mungkin semakin menjauhkan kita berdua..."

Tak kutanggapi ucapannya. 

Aku sudah tak berharap apapun kepada siapa pun di dunia ini. Selain berharap bertemu putriku. Hidup bersama Husna saja pasti hidupku sudah bahagia dan lebih berarti. 

*

Tiba di depan rumah. Kulihat mobil rekanku berada di sana. Aku tak mengerti, mengapa dia berada di sini. 

Aku mau menanyakannya kepada ayah Husna, tapi kuurungkan demi mendengar suara perempuan kecil memanggilku dari jauh. Iya... suara Husna. Aku tak mempercayainya. 

"Husna sudah di rumah, Put. Bersama temanmu..."

Aku memandang ayah Husna. Dia menganggukkan kepala. 

Aku turun dari motor. Dari jauh Husna berlari mendekatiku. Bahagia tak terkira melihat bocah cantikku sehat. 

Aku menyambut putriku penuh bahagia dan haru. 

"Kamu ke mana saja, Husna. Ibu dan ayah bingung mencarimu..."

*

Di ruang tamu. 

Akhirnya rekanku menceritakan semua yang terjadi dengan Husna. Putri cantikku itu dalam perjalanan pulang, membantu seorang nenek yang tersesat. Namun karena Husna tak begitu hafal jalan, ketika dalam perjalanan pulang ke rumah, dia tersesat. 

Untunglah waktu itu rekanku melihat Husna kebingungan. Diajaknya makan dulu. Barulah dia diantar ke rumah. 

Rekanku meneleponku dan mengirimkan pesan berulang kali tak kuhiraukan. Padahal waktu itu dia mengabarkan kalau Husna bersamanya. Begitu juga ketika tiba di rumah, rekanku kembali menghubungiku. 

Aku merasa bodoh dengan diriku sendiri. Begitu paniknya aku sampai tak memedulikan pesan atau telepon yang sangat penting. 

"Maaf, mas Irawan. Njenengan jadi menunggu terlalu lama... "

Irawan, rekanku menikmati kopi yang kuhidangkan. Terlupa dengan ayah Husna yang tengah bercanda dengan putriku di teras. 

*

Aku keluar untuk mengajak Husna dan ayahnya masuk rumah. 

"Husna, ayo masuk. Nanti masuk angin..."

"Tapi, bu. Aku masih kangen ayah..."

Husna mau memprotes ajakanku. Ayahnya yang akhirnya menasehati Husna. 

"Husna, kamu masuk sana ya. Nggak boleh melawan nasehat ibu. Oke!"

"Oke,  ayah!"

Husna memeluk dan mencium ayahnya sebelum masuk rumah. 

Aku menatap putriku yang masuk rumah dengan terus berceloteh, protes karena bertemu ayahnya sebentar saja. Aku tersenyum. Dia begitu sayang ayahnya. Juga sayang aku, ibunya. Namun dia tak bisa merasakan kasih sayang yang utuh. Dia merasa kurang diperhatikan. Pantas kalau dia sering protes ini-itu. 

*

"Aku pamit dulu, Put..."

Ayah Husna mau beranjak namun kuhalangi. 

"Mas masuk rumah dulu. Sudah kusiapkan kopi spes..."

Aku tak melanjutkan ucapanku. Senyum ayah Husna mengembang. Dulu setiap hari ayah Husna memintaku dibuatkan kopi. Menurutnya kopi itu spesial.

"Apa aku tak mengganggu?"

Ayah Husna menggodaku. Iya di dalam rumah masih ada Irawan. Kugelengkan kepalaku. Kuraih tangan ayah Husna dan mengajaknya ke dalam rumah.

"Husna masih kangen sama ayahnya, mas..."

Kulepas lagi tangan ayah Husna begitu kusadari perilakuku. Ya. Aku menjadi salah tingkah karenanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun