***
"Alhamdulillah kamu sudah siuman, dik. Tiba-tiba kamu pingsan tadi..."
Ah... aku tak mengingat kejadian setelah perselisihan karena cemburu. Seingatku aku mau ke kamar mandi. Perutku sering mual beberapa hari ini. Tubuhku pun lemas. Mungkin kurang makan. Aku cuma minta dikerik mas Widi saja.Â
Aku mencoba bangkit dari tidur. Kepalaku terasa masih berat. Perut kembali mual. Kalau seperti ini terus aku jadi takut makan. Pasti semua yang berhasil masuk perut akan keluar juga. Sungguh menyiksa. Aku harus banyak beristirahat biar segera fresh.Â
Aku terduduk di kasur. Mas Widi berada di sampingku. Terlihat kekhawatiran di raut wajahnya. Dia tak pernah melihatku dalam kondisi seperti ini. Aku biasa melakukan segala kegiatan dengan cekatan. Kali ini tak ada daya. Sakit apa aku? Aku belum mau mati dulu. Aku tak mau kalau Mas Widi menikah lagi ketika aku meninggalkannya. Ah... pikiranku jadi aneh-aneh. Astaghfirullah.Â
Tingtong. Tiba-tiba terdengar suara bel. Mas Widi beranjak dari tempat tidur.Â
"Mau kemana, mas?"
"Sebentar ya, dik...". Dia berlalu. Aku sendirian di kamar. Kusandarkan punggungku ke sandaran tempat tidurku. Kurasakan tubuhku tak karuan. Kurasa aku sudah cukup istirahat, tak terlalu workaholic, kenapa jadi seperti ini?Â
Tak lama kemudian mas Widi ke kamar lagi diikuti Dokter Farida. Dokter Farida ini konon menjadi dokter langganan keluarga mas Widi. Kutaksir usianya sekitar 54an.Â
Dokter Farida memeriksaku. Tekanan darah, kelopak mata, cek darah dan cek urine. Sambil menunggu hasil cek tersebut aku terus dihantui rasa takut.Â
"Mbak Ira ini mulai menstruasi terakhir tanggal berapa ya, mbak...".