Rasanya hari-hari semakin melelahkan. Menikah memang membuat perempuan menjadi lebih sibuk. Melayani kebutuhan suami, merapikan rumah, agar suasana nyaman.Â
Namun seperti pasangan suami istri lainnya, kehidupan rumah tanggaku juga mengalami pasang surut. Perselisihan, rasa cemburu, kesal mewarnai romantisme kisah kami.Â
Selisih usia yang cukup jauh kadang tak mempengaruhi kedewasaan mas Widi. Tanpa alasan sering saja cemburu. Tak dipercayai suami merupakan hal yang paling menyebalkan. Bikin emosi. Dianggapnya aku seperti tokoh-tokoh di sinetron alay.Â
Dia merasa sudah tua, sedang aku masih jauh lebih muda. Sebenarnya jarak usia juga tak sampai sepuluh tahun. Dia memang tak mengetahui kisah pahitku ketika ditinggalkan Tio. Setahunya kami hanya berteman saja karena Tio dan aku adalah mahasiswa yang KKN di satu lokasi.Â
Aku sengaja tak membicarakan kisah itu. Aku tak ingin mengingat kembali kisah bersama Tio. Dan itu memang menjadi kesalahanku. Harusnya aku terbuka sejak dia kembali menanyakan kesediaanku untuk menjadi pendamping hidupnya.Â
Akibatnya kini dia merasa aku bersedia menikah dengannya hanya sekadar pelarian.Â
Aku belum hamil pun menjadikan munculnya pikiran negatif di kepalanya.Â
"Mas sudah tua, dik. Mungkin kamu malu kalau punya anak dariku..."
Apa-apaan dengannya? Udah dewasa dan aku merasakan hati nyaman bersamanya malah memancing emosi saja.Â
"Halah... paling mas Widi saja yang malu. Ngaku sajalah, mas. Temen mas kan cantik-cantik. Mas sendiri pernah bilang sama aku kan?", kucoba mencairkan suasana. Sungguh aku capek dengan sikapnya itu. Masa aku belum hamil malah pikirannya kayak gitu. Urusan rezeki atau amanah ya jadi rahasia Allah.Â
"Kok malah kamu nuduh aku...", elaknya.Â
***
"Alhamdulillah kamu sudah siuman, dik. Tiba-tiba kamu pingsan tadi..."
Ah... aku tak mengingat kejadian setelah perselisihan karena cemburu. Seingatku aku mau ke kamar mandi. Perutku sering mual beberapa hari ini. Tubuhku pun lemas. Mungkin kurang makan. Aku cuma minta dikerik mas Widi saja.Â
Aku mencoba bangkit dari tidur. Kepalaku terasa masih berat. Perut kembali mual. Kalau seperti ini terus aku jadi takut makan. Pasti semua yang berhasil masuk perut akan keluar juga. Sungguh menyiksa. Aku harus banyak beristirahat biar segera fresh.Â
Aku terduduk di kasur. Mas Widi berada di sampingku. Terlihat kekhawatiran di raut wajahnya. Dia tak pernah melihatku dalam kondisi seperti ini. Aku biasa melakukan segala kegiatan dengan cekatan. Kali ini tak ada daya. Sakit apa aku? Aku belum mau mati dulu. Aku tak mau kalau Mas Widi menikah lagi ketika aku meninggalkannya. Ah... pikiranku jadi aneh-aneh. Astaghfirullah.Â
Tingtong. Tiba-tiba terdengar suara bel. Mas Widi beranjak dari tempat tidur.Â
"Mau kemana, mas?"
"Sebentar ya, dik...". Dia berlalu. Aku sendirian di kamar. Kusandarkan punggungku ke sandaran tempat tidurku. Kurasakan tubuhku tak karuan. Kurasa aku sudah cukup istirahat, tak terlalu workaholic, kenapa jadi seperti ini?Â
Tak lama kemudian mas Widi ke kamar lagi diikuti Dokter Farida. Dokter Farida ini konon menjadi dokter langganan keluarga mas Widi. Kutaksir usianya sekitar 54an.Â
Dokter Farida memeriksaku. Tekanan darah, kelopak mata, cek darah dan cek urine. Sambil menunggu hasil cek tersebut aku terus dihantui rasa takut.Â
"Mbak Ira ini mulai menstruasi terakhir tanggal berapa ya, mbak...".
Kuingat-ingat lagi kapan aku mulai menstruasi terakhir kali. Dan nyatanya aku lupa. Biasanya pada kalender juga kukasih tanda, kok bulan kemarin tak kulingkari.Â
Mas Widi yang baru saja masuk kamar dan menyiapkan teh untuk Dokter Farida juga ditanyai. "Aku saja lupa, apalagi dia, Dok", batinku. Mas Widi hanya menggelengkan kepala.Â
Bu Farida tersenyum.Â
"Ya sudah. Tak apa. Selamat untuk Mas Widi dan mbak Ira. Sebentar lagi kalian memiliki buah hati...", ucap Dokter Farida dengan lembut.Â
Aku sangat terkejut. Begitu juga mas Widi.Â
***
"Alhamdulillah kita akan menjadi orangtua ya, dik...", ucapnya selepas salat Maghrib berjamaah dan berdoa.Â
Aku mengangguk.Â
"Tapi mas Widi harus janji, nggak bakal cemburu lagi. Nggak mikir aneh-aneh lagi...", protesku.Â
"Iya, sayang. Aku janji", ucap mas Widi yang kemudian mencium kening dan memelukku.Â
Tiba-tiba perutku berontak lagi. Rasanya mual mencium parfum mas Widi. Aku menjauhinya dan memberi kode untuknya agar tak mendekatiku.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI