Mohon tunggu...
Jonny Ricardo Kocu
Jonny Ricardo Kocu Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pengajar dan Penulis Lepas

Suka Membaca dan Menulis. Tertarik pada Politik & Pemerintahan, Sosial Budaya, dan Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Konflik Pilkada di Kabupaten Maybrat (Bagian 1)

3 Desember 2024   02:31 Diperbarui: 3 Desember 2024   09:44 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/2024/11/pilkada-2024-untuk-kepemimpinan-nasional-2029/

KONFLIK PILKADA DI KABUPATEN MAYBRAT:
Problem Sistemik dari Pemerintah dan Penyelenggara


*Jonny Ricardo Kocu

Tulisan ini menguak konflik dalam pelaksanaan pilkada di kabupaten Maybrat, dengan berpijak pada argumen: Konflik saat pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Maybrat, bukan sekedar persoalan kedewasaan politik pemilih yang rendah, atau sentimen identitas dan sikap primodialisme. Melainkan, konflik tersebut diciptakan oleh sistem pemerintahan dan penyelenggara pemilu itu sendiri. Selanjutnya, tulisan ini menyajikan problem, aktor penyebab, implikasi terhadap demokrasi dan legitimasi politik,  sekaligus menawarkan alternatif solusi (Lihat bagian 2 : di sini  ) yang bisa dilakukan  oleh kita bersama, terutama pemerintah dan penyelenggara pemilu, agar kedepannya masalah tersebut berkurang bahkan dihilangkan. Konteks Tulisan Kabupaten Maybrat, namun relevansinya bagi seluruh kabupaten/kota di tanah Papua.


KONFLIK DALAM PILKADA


Pilkada seharusnya dilihat sebagai kesempatan untuk melahirkan pemimpin yang berkualitas, agar mampu memimpin daerah dan membawa perbaikan, serta perubahan terhadap kondisi hidup masyarakat. Namun, di tanah Papua pelaksanaan pilkada dari tahun ke tahun selalu menampilkan wajah konflik, tidak sekedar konflik anta elit politik, tetapi juga konflik (berujung pada kekerasan dan kerusakan) horizontal antar masyarakat (para pendukung). Seperti yang baru-baru ini terjadi di kabupaten Puncak Jaya, menyebabkan 40 rumah terbakar dan 94 orang terluka karena serangan panah, (Kompas.com, 30/11/2024) Baca . Di kabupaten Maybrat sendiri, pada pilada tahun 2017 juga menyajikan beragam konflik, begitu juga pilkada 2024 ini, banyak friksi dan konflik terjadi (yang berujung tindakan kekerasan). Konflik tersebut menambah daftar Panjang konflik pemilu/pilkada di tanah Papua, sebagai daerah yang masuk dalam Indeks Kerawanan pemilu Lihat


Konflik dalam pelaksanaan pilkada di tanah Papua, khususnya dalam pengamatan saya pada beberapa kampung (TPS) di kabupaten Maybrat Papua Barat Daya. Konflik-konflik tersebut, bukan sekedar menodai proses demokrasi itu sendiri, tetapi menciptakan keterpecahan sosial antar masyarakat. Konflik-konflik seperti ini, akan menghambat konsolidasi demokrasi dan integrasi sosial dalam mendukung pembangunan dan kemajuan daerah. Baca Juga : Keluarga dan Politik Demokrasi di Papua


Sehingga, pertanyaan penting akan muncul di kepala kita; apa sebenarnya akar atau penyebab masalah atau konflik ini muncul saat pelaksanaan pilkada di Tahan Papua, dan khususnya di Kabupaten Maybrat ? tentu, konflik itu melibatkan berbagai dimensi, aktor dan faktor penyebab. Dalam buku, "Kitong Bakalai Sendiri" POLITIK IDENTITAS DI PAPUA (2023), saya menyajikan empat konflik utama di Kabupaten Maybrat : 1) klaim ide pemekaran kabupaten tersebut, 2) Penetapan wilayah administrative, 3), sengketa letak ibukota, dan 4), pertarungan poltik dalam pilkada itu sendiri. Terlepas dari keempat masalah tersebut, pengamatan saya pada pilkada 2024 ini, salah akar dari konflik saat pelaksanaan pilkada diciptakan oleh pemerintah dan penyelenggaran pemilu, hal ini berkaitan dengan penyediaan data, daftar pemilih tetap (DPT).


LAHIRNYA KONSEP " HAK WARIS " DALAM PEMILU


Setelah memperhatikan proses pelaksanaan pemilihan di TPS (kasus di beberapa kampung di Distrik Aifat Utara, Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya), saya melihat bahwa salah satu pemicu konflik saat pelaksanaan pemilihan adalah data terkait daftar pemilih tetap (DPT).  Data DPT yang tersedia untuk tiap kampung atau TPS, pada dasarnya data DPT tersebut bersifat fiktif dan manipulatif. Faktanya, dijumpai dari DPT yaang ada, banyak nama-nama fiktif, seperti  banyak nama pemilih yang sebenarnya sudah meninggal dunia bahkan belasan tahun lalu, ada pendobolan nama pemilih, juga terdapat nama pemilih yang sebenarnya berstatus bukan warga kampung (TPS) tersebut. Hal inilah menyebabkan, jumlah kartu suara untuk DPT di suatu TPS tidak selalu sesuai dengan penduduk yang nyata (real). Baca juga : Bagaimana Nasib Kabupaten Maybrat Pasca Kepemimpinan Bernhard E. Rondonuwu


Problem inilah, memunculkan klaim-klaim dan konsep baru dalam pemilu di masyarakat maybrat, seperti  hak dan kepemilikan atas kartu-kartu atau DPT fiktif tersebut, dengan konsep seperti " Kartu Hak Waris" .  Konsep hak waris dalam proses pemilihan, menurut saya adalah salah satu bagian penting pemicu konflik. DPT fiktif inilah yang sering menjadi ajang perebutan dan memicu konflik saat pelaksanaan pilkada antar pendukung pasangan calon (Paslon) tertentu, yang merasa memiliki hak atas kartu atau DPT fiktif yang ada (memiliki hak waris), sehingga menimbulkan ketidakpuasan kubu lain atas kepemilikan data fiktif ini. Hal ini diperparah dengan penyelenggara pemilihan di TPS yang tidak netral (karena terafiliasi dangan paslon tertentu), dan juga tidak ada regulasi yang jelas tentang konsep " Kartu Hak Waris".

Baca Juga : Tradisi Kain Timur dalam Praktek Politik Modern: Tinjauan Terhadap Buku Prof. Haryanto 


Sejauh pengetahuan saya, data fiktif adalah kejahatan, sekaligus tidak ada konsep hak waris dalam proses pemilihan. Kecuali, ada pemilih yang berhalangan hadir dan memberi mandat kepada pemilih lain, untuk mengambil (mewakilkan) hak pilihnya. Pada intinya, persoalan data fiktif terkait pemilih (melahirkan konsep "Kartu Hak Waris" ), menurut saya merupakan salah satu pemicu friksi dan konflik dalam pilkada di Kabupaten Maybrat, yang berujung pada tindakan kekerasan, sekaligus menodai proses demokrasi. Seperti yang terjadi di TPS 001 di Kampung Ayawasi , Distrik Aifat Utara, Maybrat, terindikasi bahwa DPT fiktif menjadi salah satu penyebab konflik pilkada di TPS tersebut, sehingga terjadi PSU pada tanggal 3 Desember 2024 (Kompas.com - 02/12/2024).

SIAPA YANG SALAH ?


Persoalan data atau pendataan penduduk di tanah Papua secara umum, sering menjadi masalah, mulai dari komitmen pemerintah untuk menyediakan data yang kredibel dan valid melalui Dinas Kependudukan Catatan Sipil (DUKCAPIL), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Pemerintah Kampung, termasuk KPU. Selain komitmen pemerintah, proses input data yang faktual dan valid, sering menjadi titik masalah. Baca Juga : Ulasan Buku: Politik Kain Timur - Instrumen Meraih Kekuasaan 


Mengurai masalah data atau pendataan penduduk di Papua, baik yang dilakukan oleh lembaga atau badan negara ( Seperti BPS), atau pun disediakan oleh pemerintah kampung, menurut saya cukup memprihatinkan. Khususnya data yang disediakan oleh kampung, banyak kampung di Papua yang belum memiliki sistem penyediaan data kependudukan yang baik. Sehingga, keperluan seperti DPT dalam pilkada, input data dari kampung sering menjadi masalah : tidak valid dan kredibel.


Selain kelemahan pemerintah melalui lembaga, badan dan juga pemerintah kampung yang tidak menyediakan data dengan baik. Berdasarkan penelusuran saya, bahwa politisasi data  kependudukan banyak dilakukan oleh aktor-aktor di kampung yang memiliki kepentingan politik (data sebagai instrument politik). Praktik manipulasi data penduduk ini telah dilakukan jauh-jauh hari untuk keperluan politik : Pemilihan kepala kampung, Pileg dan pilkada. Sehingga, DPT dalam Pilkada berisi banyak data manipulatif dengan kepentingan politik tertentu.  Jadi, masalahnya terletak pada proses penyetoran data dari pihak kampung (beberapa aktor di kampung, memanipulasi jumlah data penduduk demi kepentingan politik saat pemilu).


Problem ini berlanjut ketika penyelenggara pemilu (KPU) dalam menginput, memverifikasi data, hingga menetapkan data DPT untuk keperluan pemilu, sarat akan kepentingan politik, dengan dua kemungkinan. Pertama, ketidaktahuan KPU atas validitas data kependudukan, hal ini berkaitan dengan penyediaan data dari kampung, Dukcapil atau BPS. Kedua, kesengajaan KPU (Ikut memanipulasi data pemilih) dengan aktor-aktor kepentingan, baik yang berada di badan atau lembaga negara ( BPS dan DukCapil) atau dengan pihak dari kampung.


Sehingga, dapat disimpulkan bahwa " praktik penyediaan data kependudukan (DPT) untuk keperluan pemilu/pilkada sarat akan manipulasi dan kepentingan politik, yang melibatkan beragam aktor dan level : Level kampung, hingga badan penyedia data (BPS dan Dukcapil), serta aktor-aktor politik. Data-data (DPT) manipulatif inilah ketika dipergunakan dalam pilkada akan menciptakan konflik kepentingan atas data, sehingga muncul istilah atau konsep " Kartu Hak Waris" dan diperparah dengan ketidaknetralan (tidak ada transparansi) penyelenggara pemilihan di TPS terkait data (DPT Fiktif), sehingga memicu konflik dalam pelaksanaan pilkada" . Hal ini, jamak terjadi di TPS dalam pilkada 2024 di kabupaten Maybrat. Artinya, manipulasi dan kecurangan pilkada, sudah dimulai secara massif dan sistemik dalam bentuk manipulasi data (DPT fiktif). Karena, data (DPT fiktif) dalam pilkada bukan sekedar angka, melainkan modal politik. Siapa yang memanipulasi dan memiliki data (DPT fiktif), memiliki nilai tawar politik sekaligus mengubah peta politik (termasuk menciptakan konflik dalam pelaksanaan pilkada).


DATA FIKTIF ADALAH DOSA DEMOKRASI


Konsep demokrasi yang kita pahami dari zaman Yunani hingga abad ke-21 ini, merujuk pada konsep kekuasaan yang berada pada rakyat. Rakyat (kitalah) yang memegang kekuasaan. Rakyat sendiri merujuk pada konsep makluk politik (manusia atau orang yang nyata). Dasar inilah, muncul prinsip: one people, one voice, one value. Satu orang, satu suara dan satu nilai, prinsip yang mendasari praktik pemilihan dalam demokrasi. Sehingga, ada dua prinsip penting : 1) Demokrasi berkaitan dengan rakyat (orang yang nyata) dan, 2) satu orang, satu suara dan satu nilai. Namun, dalam penyelenggaran pilkada di Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya, menurut pengamatan saya, jauh dari prinsip-prinsip pemilihan yang demokratis, terutama prinsip rakyat (orang yang nyata) dalam memilih. Seperti terlihat dalam uraian tulisan ini, terkait DPT fiktif dan munculnya konsep "Kartu Hak Waris" telah mendistorsi prinsip demokrasi " Orang/rakyat yang nyata, memiliki satu suara dan satu nilai. Sehingga, data fiktif (DPT) bisa dianggap sebagai dosa dalam praktik demokrasi.


JUMLAH FAKTUAL SEBAGAI LEGITIMASI POLITIK


Pilkada juga dapat dimaknai sebagai praktik melegitimasi (pengakuan secara politik) terhadap kekuasaan. Legitimasi dari rakyat kepada pemimpin politik yang dipilih. Penglegitimasian kekuasaan, seharusnya lahir dari rakyat (orang) yang nyata. Dalam dalam artian sebagai rakyat yang memiliki hak politik dalam teritori administrasi dan wilayah politik tertentu. Misanya, seorang di kampung A (bisa level negara), tidak bisa melegitimasi kekuasaan di kampung B (bisa level negara). Yang seharusnya, orang di kampung A, harus melegitimasi kekuasaan di kampung A. karena, kelak kekuasaan tersebut mengatur dan membuat  kebijakan untuk orang yang bersangkutan.

Baca Juga : Potensi Melanggengnya Politik Dinasti di Papua Barat Daya

Dalam konteks kasus DPT Fiktif, maka menjadi absurd, karena orang fiktif (seperti sudah meninggal dunia atau bukan penduduk di kampung bersangkutan) memberi legitimasi kepada penguasa, yang akan mengatur dan mengurus manusia nyata (orang hidup atau penduduk di kampung bersangkutan). Bukan sekedar absurd, tetapi secara legitimasi politik sebenarnya tidak kuat, karena legitimasi itu lahir dari sebagian rakyat atau orang yang fiktif. Seharusnya, jumlah faktual (manusia yang nyata dan ada) sebagai legitimasi politik, bagi pemimpin politik (penguasa) dalam praktik demokrasi. Lanjut, bagian 2

*Dosen Universitas Nani Bili Nusantara (UNBN) Sorong

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun