Pilkada juga dapat dimaknai sebagai praktik melegitimasi (pengakuan secara politik) terhadap kekuasaan. Legitimasi dari rakyat kepada pemimpin politik yang dipilih. Penglegitimasian kekuasaan, seharusnya lahir dari rakyat (orang) yang nyata. Dalam dalam artian sebagai rakyat yang memiliki hak politik dalam teritori administrasi dan wilayah politik tertentu. Misanya, seorang di kampung A (bisa level negara), tidak bisa melegitimasi kekuasaan di kampung B (bisa level negara). Yang seharusnya, orang di kampung A, harus melegitimasi kekuasaan di kampung A. karena, kelak kekuasaan tersebut mengatur dan membuat  kebijakan untuk orang yang bersangkutan.
Baca Juga : Potensi Melanggengnya Politik Dinasti di Papua Barat Daya
Dalam konteks kasus DPT Fiktif, maka menjadi absurd, karena orang fiktif (seperti sudah meninggal dunia atau bukan penduduk di kampung bersangkutan) memberi legitimasi kepada penguasa, yang akan mengatur dan mengurus manusia nyata (orang hidup atau penduduk di kampung bersangkutan). Bukan sekedar absurd, tetapi secara legitimasi politik sebenarnya tidak kuat, karena legitimasi itu lahir dari sebagian rakyat atau orang yang fiktif. Seharusnya, jumlah faktual (manusia yang nyata dan ada) sebagai legitimasi politik, bagi pemimpin politik (penguasa) dalam praktik demokrasi.
*Dosen Universitas Nani Bili Nusantara (UNBN) Sorong
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H