KONFLIK PILKADA DI KABUPATEN MAYBRAT:
Problem Sistemik dari Pemerintah dan Penyelenggara.
*Jonny Ricardo Kocu
Tulisan ini menguak konflik dalam pelaksanaan pilkada di kabupaten Maybrat, dengan berpijak pada argumen: Konflik saat pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Maybrat, bukan sekedar persoalan kedewasaan politik pemilih yang rendah, atau sentiment identitas dan sikap primodialisme. Melainkan, konflik tersebut diciptakan oleh sistem pemerintahan dan penyelenggara pemilu itu sendiri. Selanjutnya, tulisan ini menyajikan problem, aktor penyebab, implikasi terhadap demokrasi dan legitimasi politik,  sekaligus menawarkan alternatif solusi (Lihat bagian 2 tulisan ini) yang bisa dilakukan  oleh kita bersama, terutama pemerintah dan penyelenggara pemilu, agar kedepannya masalah tersebut berkurang bahkan dihilangkan. Konteks Tulisan Kabupaten Maybrta, namun relevansinya bagi seluruh kabupaten/kota di tanah Papua.
KONFLIK DALAM PILKADA
Pilkada seharusnya dilihat sebagai kesempatan untuk melahirkan pemimpin yang berkualitas, agar mampu memimpin daerah dan membawa perbaikan, serta perubahan terhadap kondisi hidup masyaraka. Namun, di tanah Papua pelaksanaan pilkada dari tahun ke tahun selalu menampilkan wajah konflik, tidak sekedar konflik anta elit politik, tetapi juga konflik (berujung pada kekerasan dan kerusakan) horizontal antar masyarakat (para pendukung). Seperti yang baru-baru ini terjadi di kabupaten Puncak Jaya, menyebabkan 40 rumah terbakar dan 94 orang terluka karena serangan panah, (Kompas.com, 30/11/2024) Baca . Di kabupaten Maybrat sendiri, pada pilada tahun 2017 juga menyajikan beragam konflik, begitu juga pilkada 2024 ini, banyak friksi dan konflik terjadi (yang berujung tindakan kekerasan). Konflik tersebut menambah daftar Panjang konflik pemilu/pilkada di tanah Papua, sebagai daerah yang masuk dalam Indeks Kerawanan pemilu Lihat
Konflik dalam pelaksanaan pilkada di tanah Papua, khususnya dalam pengamatan saya pada beberapa kampung (TPS) di kabupaten Maybrat Papua Barat Daya. Konflik-konflik tersebut, bukan sekedar menodai proses demokrasi itu sendiri, tetapi menciptakan keterpecahan sosial antar masyarakat. Konflik-konflik seperti ini, akan menghambat konsolidasi demokrasi dan integrasi sosial dalam mendukung pembangunan dan kemajuan daerah. Baca Juga : Keluarga dan Politik Demokrasi di Papua
Sehingga, pertanyaan penting akan muncul di kepala kita; apa sebenarnya akar atau penyebab masalah atau konflik ini muncul saat pelaksanaan pilkada di Tahan Papua, dan khususnya di Kabupaten Maybrat ? tentu, konflik itu melibatkan berbagai dimensi, aktor dan faktor penyebab. Dalam buku, "Kitong Bakalai Sendiri" POLITIK IDENTITAS DI PAPUA (2023), saya menyajikan empat konflik utama di Kabupaten Maybrat : 1) klaim ide pemekaran kabupaten tersebut, 2) Penetapan wilayah administrative, 3), sengketa letak ibukota, dan 4), pertarungan poltik dalam pilkada itu sendiri. Terlepas dari keempat masalah tersebut, pengamatan saya pada pilkada 2024 ini, salah akar dari konflik saat pelaksanaan pilkada diciptakan oleh pemerintah dan penyelenggaran pemilu, hal ini berkaitan dengan penyedian data, daftar pemilih tetap (DPT).
LAHIRNYA KONSEP " HAK WARIS " DALAM PEMILU
Setelah memperhatikan proses pelaksanaan pemilihan di TPS (kasus di beberapa kampung di Distrik Aifat Utara, Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya), saya melihat bahwa salah satu pemicu konflik saat pelaksanaan pemilihan adalah data terkait daftar pemilih tetap (DPT).  Data DPT yang tersedia untuk tiap kampung atau TPS, pada dasarnya data DPT tersebut bersifat fiktif dan manipulatif. Faktanya, dijumpai dari DPT yaang ada, banyak nama-nama fiktif, seperti  banyak nama pemilih yang sebenarnya sudah meninggal dunia bahkan belasan tahun lalu, ada pendobolan nama pemilih, juga terdapat nama pemilih yang sebenarnya berstatus bukan warga kampung (TPS) tersebut. Hal inilah menyebabkan, jumlah kartu suarat untuk DPT di suatu TPS tidak selalu sesuai dengan penduduk yang nyata (real). Baca juga : Bagaimana Nasib Kabupaten Maybrat Pasca Kepemimpinan Bernhard E. Rondonuwu
Problem inilah, memunculkan klaim-klaim dan konsep baru dalam pemilu di masyarakat maybrat, seperti  hak dan kepemilikan atas kartu-kartu atau DPT fiktif tersebut, denngan konsep seperti " Kartu Hak Waris" .  Konsep hak waris dalam proses pemilihan, menurut saya adalah salah satu bagian penting pemicu konflik. DPT fiktif inilah yang sering menjadi ajang perebutan dan memicu konflik saat pelaksaan pilkada antar pendukung pasangan calon (Paslon) tertentu, yang merasa memiliki hak atas kartu atau DPT fiktir yang ada (memiliki hak waris), sehingga menimbulkan ketidakpuasaan kubu lain atas kepemilikan data fiktif ini. Hal ini diperparah dengan penyelenggara pemilihan di TPS yang tidak netral (karena terafiliasi dangan paslon tertentu), dan juga tidak ada regulasi yang jelas tentang konsep " Kartu Hak Waris".