Baca Juga : Tradisi Kain Timur dalam Praktek Politik Modern: Tinjauan Terhadap Buku Prof. HaryantoÂ
Sejauh pengetahuan saya, data fiktif adalah kejahatan, sekaligus tidak ada konsep hak waris dalam proses pemilihan. Kecuali, ada pemilih yang berhalangan hadir dan memberi mandat kepada pemilih lain, untuk mengambil (mewakilkan) hak pilihnya. Pada intinya, persoalan data fiktif terkait pemilih (melahirkan konsep "Kartu Hak Waris" ), menurut saya merupakan salah satu pemicu friksi dan konflik dalam pilkada di Kabupaten Maybrat, yang berujung pada tindakan kekerasan, sekaligus menodai proses demokrasi. Seperti yang terjadi di TPS 001 di Kampung Ayawasi , Distrik Aifat Utara, Maybrat, terindikasi bahwa DPT fiktif menjadi salah satu penyebab konflik pilkada di TPS tersebut, sehingga terjadi PSU pada tanggal 3 Desember 2024 (Kompas.com - 02/12/2024).
SIAPA YANG SALAH ?
Persoalan data atau pendataan penduduk di tanah Papua secara umum, sering menjadi masalah, mulai dari komitmen pemerintah untuk menyediakan data yang kredibel dan valid melalui Dinas Kependudukan Catatan Sipil (DUKCAPIL), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Pemerintah Kampung, termasuk KPU. Selain komitmen pemerintah, proses input data yang faktual dan valid, sering menjadi titik masalah. Baca Juga : Ulasan Buku: Politik Kain Timur - Instrumen Meraih KekuasaanÂ
Mengurai masalah data atau pendataan penduduk di Papua, baik yang dilakukan oleh lembaga atau badan negara ( Seperti BPS), atau pun disediakan oleh pemerintah kampung, menurut saya cukup memprihatinkan. Khususnya data yang disediakan oleh kampung, banyak kampung di Papua yang belum memiliki sistem penyediaan data kependudukan yang baik. Sehingga, keperluan seperti DPT dalam pilkada, input data dari kampung sering menjadi masalah : tidak valid dan kredibel.
Selain kelemahan pemerintah melalui lembaga, badan dan juga pemerintah kampung yang tidak menyediakan data dengan baik. Berdasarkan penelusuran saya, bahwa politisasi data  kependudukan banyak dilakukan oleh aktor-aktor di kampung yang memiliki kepentingan politik (data sebagai instrument politik). Praktik manipulasi data penduduk ini telah dilakukan jauh-jauh hari untuk keperluan politik : Pemilihan kepala kampung, Pileg dan pilkada. Sehingga, DPT dalam Pilkada berisi banyak data manipulatif dengan kepentingan politik tertentu.  Jadi, masalahnya terletak pada proses penyetoran data dari pihak kampung (beberapa aktor di kampung, memanipulasi jumlah data penduduk demi kepentingan politik saat pemilu).
Problem ini berlanjut ketika penyelenggara pemilu (KPU) dalam mengimput, mengverifikasi data, hingga menetapkan data DPT untuk keperluan pemilu, sarat akan kepentingan politik, dengan dua kemungkinan. Pertama, ketidaktahuan KPU atas validitas data kependudukan, hal ini berkaitan dengan penyedian data dari kampung, Dukcapil atau BPS. Kedua, kesengajaan KPU (Ikut memanipulasi data pemilih) dengan aktor-aktor kepentingan, baik yang berada di badan atau lembaga negara ( BPS dan DukCapil) atau dengan pihak dari kampung.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa " praktik penyedian data kependudukan (DPT) untuk keperluan pemilu/pilkada sarat akan manipulasi dan kepentingan politik, yang melibatkan beragam aktor dan level : Level kampung, hingga badan penyedia data (BPS dan Dukcapil), serta aktor-aktor politik. Data-data (DPT) manipulatif inillah ketika dipergunakan dalam pilkada akan menciptakan konflik kepentingan atas data, sehingga muncul instilah atau konsep " Kartu Hak Waris" dan diperparah dengan ketidaknetralan (tidak ada trnasparasi) penyelenggara pemilihan di TPS terkait data (DPT Fiktif), sehingga memicu konflik dalam pelaksanaan pilkada" . Hal ini, jamak terjadi di TPS dalam pilkada 2024 di kabupaten Maybrat. Artinya, manipulasi dan kecurangan pilkada, sudah dimulai secara massif dan sistemik dalam bentuk manipulasi data (DPT fiktif). Karena, data (DPT fiktif) dalam pilkada bukan sekedar angka, melainkan modal politik. Siapa yang memanipulasi dan memiliki data (DPT fiktif), memiliki nilai tawar politik sekaligus mengubah peta politik (termasuk menciptakan konflik dalam pelaksanaan pilkada).
DATA FIKTIF ADALAH DOSA DEMOKRASI
Konsep demokrasi yang kita pahami dari zaman Yunani hingga abad ke-21 ini, merujuk pada konsep kekuasaan yang berada pada rakyat. Rakyat (kitalah) yang memegang kekuasaan. Rakyat sendiri merujuk pada konsep makluk politik (manusia atau orang yang nyata). Dasar inilah, mucul prinsip:Â one people, one voice, one value. Satu orang, satu suara dan satu nilai, prinsip yang mendasari praktik pemilihan dalam demokrasi. Sehingga, ada dua prinsip penting : 1) Demokrasi berkaitan dengan rakyat (orang yang nyata) dan, 2) satu orang, satu suara dan satu nilai. Namun, dalam penyelenggaran pilkada di Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya, menurut pengamatan saya, jauh dari prinsip-prinsip pemilihan yang demokratis, terutama prinsip rakyat (orang yang nyata) dalam memilih. Seperti terlihat dalam uraian tulisan ini, terkait DPT fiktif dan munculnya konsep "Kartu Hak Waris" telah mendistoris prinsip demokrasi " Orang/rakyat yang nyata, memiliki satu suara dan satu nilai. Sehingga, data fiktif (DPT) bisa dianggap sebagai dosa dalam praktik demokrasi.
JUMLAH FAKTUAL SEBAGAI LEGITIMASI POLITIK