Mohon tunggu...
Jonny Ricardo Kocu
Jonny Ricardo Kocu Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Lepas

Suka Menulis dan Tertarik Pada Literasi, Politik dan Pemerintahan, Sosial Budaya, Lingkungan dan Literasi

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Demokrasi Mati: Gejalanya dan Bagaimana Menjaga Demokrasi?

11 Juni 2024   08:28 Diperbarui: 16 Juni 2024   09:06 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi demokrasi. (Sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com)

Sejak akhir perang dingin, sebagian besar kehancuran demokrasi bukan disebabkan oleh para jendral dan serdadu, melainkan pemerintah hasil pemilu. Kemunduran demokrasi hari ini, dimulai dari kotak suara -hal XI.

Kalimat di atas menjadi pengantar bagi kita untuk memahami isi buku ini. Bagaimana Demokrasi Mati ? jawaban awalnya, demokrasi mati karena hasil pemilu. 

Namun, untuk memahami gejalanya dan bagaiman upaya menjaga demokrasi, dalam tulisan ini saya memaparkan ringkasan singkat dari buku yang ditulis oleh dua Profesor Amerika. Sekaligus, kontekstualisasi kondisi Indonesia saat ini.

 Buku ini terdiri dari 9 bab, saya tidak akan membahas secara rinci tiap bab, melainkan saya akan merangkum  beberapa poin penting dari buku tersebut. Walau di tulis dalam konteks Amerika.

Kedua penulis membawa kita pada contoh dan Sejarah demokrasi dan otoritarianisme di belahan dunia lain, seperti Mussolini, Hitler, Putin, Egdogard, Chalves, Fujimori dan banyak contoh lainnya dari Amerika Selatan, Asia hingga Eropa. 

Penulis juga menyajikan beberapa sejarah demokrasi dan politik Amerika. Dalam buku ini, beberapa istilah kunci yang digunakan sebagai musuh demokrasi, antara lain ; demagog, ekstrimis, autokrat, dan otoriter atau otoritarianisme.

Bagaimana Demokrasi Mati ?

Sumber gambar: bulir.id
Sumber gambar: bulir.id

Bagaimana demokrasi mati? Atau kita bisa bertanya dengan cara lain; bagaimana pemimpin yang membuat demokrasi mati, lahir atau muncul ? Bagi kedua penulis, pemimpin autokrat yang otoriter sebagai pembunuh demokrasi lahir melalui 3 hal: 

1) Pemegang panggung kekuasaan mengizinkan mereka masuk.
2) Sistem penjaga demokrasi (Parpol dan Pemilih Pendahuluan) lemah dan
3) Kotak suara -pemilihan.

Secara ringkas, maksud kedua penulis bahwa; Pertama,  pemimpin yang membuat demokrasi mati, hadir atau muncul ketiak kekuasaan mengizinkan, dalam artinya kekuasaan merekrut, mengkaderkan dan membuka jalan dan panggung bagi seseorang yang akan menjadi otoriter. 

Kedua, dalam konteks Indonesia, ketika parpol salah merekrut atau mencalonkan seseorang menjadi pemimpin politik. Sehingga peran parpol sangat penting dalam menyaring pemimpin " sebagai pintu penjaga demokrasi" . 

Ketiga, kita -- pemilih, juga ikut berkontribusi di TPS dengan memilih orang yang salah, yang akan menjadi pemimpin autokrat yang otoriter, dan akan melemahkan bahkan membunuh demokrasi.

Lantas bagaimana agar kita mengetahui seseorang pemimpin otoriter, atau berpotensi menjadi pemimpin Otoriter ?  kedua penulis menyajikan 4 indikator kunci (hal.11) yaitu: 

1)Penolakan terhadap aturan main demokrasi.
2). Menyangkal legitimasi lawan politik.
3). Toleransi atau anjuran kekerasan.
4). Membatasi kebebasan sipil, lawan politik dan media. Keempat pertanyaan ini, sebenarnya dipecah kedalam varian pertanyaan spesifik terkait gejala otoritarianisme.

Pertanyaan tak kalah penting adalah bagaimana para autokrat yang otoriter menumbangkan demokrasi? 

Para autokrat yang otoriter menumbangkan demokrasi melalui cara: Memperlemah Lembaga yang seharusnya menjadi control, memperlemah oposisi, media, pebisnis, tokoh public lainnya. Dan kondisi krisis cenderung melahirkan toleransi atas otoritarianisme.

Menjaga Demokrasi dan Mencegah Pemimpin Otoriter 

Lantar, bagaimana kita menjaga demokrasi ? bagi kedua penulis, perlu adanya pagar untuk menjaga demokrasi yaitu mengikuti konstitusi, dan yang tak kalah penting adalah norma tak tertulis (toleransi dan sikap menahan diri secara kelembagaan).

Bagi kedua penulis yang menopang demokrasi Amerika bukan konstitusi tertulis saja, melainkan norma tak tertulis. Sehingga, praktek-praktek yang menjadi kebiasaan (tak tertulis) penting dalam menjaga demokrasi. 

Selain konstitusi dan norma, partai politik (parpol) sebenarnya memainkan peran penting, sebagai penjaga demokrasi, karena melalui parpol para autocrat, ekstrimis dan pemimpin otoriter lahir (dicalonkan).

Dalam buku ini, di bab 8 secara khusus mengurai Donald Trump, kepemimpinannya pada tahun pertama dan upayanya dalam menumbangkan demokrasi, namun gagal karena Sebagian besar penjaga gerbang demokrasi Amerika berfungsi baik. 

Bab akhir buku ini secara khusus banyak membahas pertarungan partai Demokrat dan partai republic di Amerika. Republik cenderung konservatif,  anti imigran dan rasial cenderung mendukung pemimpin dan kebijakan yang sebenarnya memperlemah demokrasi Amerika dibanding partai Demokrat.

Bagaimana Relevansinya dengan Konteks Indonesia?

Apa yang disajikan dalam buku ini, terutama bila kita mengikuti empat indikator utama otoritarianisme dan pelemahan demokrasi, serta varian indikatornya. Sebenarnya, Indonesia sedang mengalami pelemahan demokrasi. 

Hal ini telah dimulai pada awal periode kedua Presiden Jokowi, Ketika ia menundukkan oposisi (mengajak lawan politiknya) Prabowo ke dalam pemerintahan (menjadi Menteri). 

Selain itu, kasus pelemahan KPK, hingga yang terkahir adalah aksi cawe-cawean, juga penempatan iparnya di MK, yang berlanjut bapa perubahan syarat usia pencalonan anak presiden (Gibran). 

Banyak suara perlawan dari kelompok sipil terhadap kebijakan pemerintah, ditanggapi dengan cara represif, bahkan sebagian masuk dalam jeruji karena pasal karet dalam UU ITE.  

Akhir, masa jabatan Jokowi, malah terlihat makin menjadi-jadi,  misalnya RUU Pers, akan menyebabkan kendali negara atas suara kritis dari media dan konten Kreator. 

Gejala yang mirip dalam skala mikro atau daerah, juga dipraktekkan, media lokal dikendalikan, oposisi kadang diajak bagi jatah, masyarakat sipil diintimidasi. Kesalahan-kesalahan pemimpin seperti ini, juga disebabkan oleh pagar penjaga demokrasi yang jebol, terutama partai politik yang tidak mampu menjaga, mencegah bahkan menjadi penyeimbang pemimpin Autokrat.

Sumber gambar: IG/joewithbooks
Sumber gambar: IG/joewithbooks

Identitas buku

Judul:  Bagaimana Demokrasi Mati
Penulis: Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt
Tahun:  2021 (Cet.4)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (penerjemah)

Penutup

"Bagi kedua penulis, banyak pemimpin terlihat, ingin membangun demokrasi, padahal mereka sedang memperlemah bahkan membunuh demokrasi itu sendiri." 

Pada akhir buku ini, kedua penulis mengingatkan kita bahwa: Tidak ada satu pemimpin politik yang bisa mengakhiri suatu demokrasi, atau tidak ada pemimpin politik yang menyelamatkan demokrasi. Demokrasi adalah usaha Bersama, nasibnya tergantung kita (hal. 203). 

Akhir kata, saya merekomendasikan kepada siapa saja yang membaca tulisan ini, agar membaca langsung dan utuh buku Bagaimana Demokrasi. 

Karena buku ini ditulis dengan gaya dan Bahasa yang ringan dan mudah dimengerti, serta isi buku ini penting bagi kita yang hidup dalam negara demokrasi, yang terus mengupayakan agar demokrasi tetap hidup dan berjalan semestinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun