1) Pemegang panggung kekuasaan mengizinkan mereka masuk.
2) Sistem penjaga demokrasi (Partai Politik dan Pemilih Pendahuluan) lemah dan
3) Kotak suara -pemilihan.
Secara ringkas, maksud kedua penulis bahwa; Pertama, Â pemimpin yang membuat demokrasi mati, hadir atau muncul ketiak kekuasaan mengizinkan, dalam artinya kekuasaan merekrut, mengkaderkan dan membuka jalan dan panggung bagi seseorang yang akan menjadi otoriter.Â
Kedua, dalam konteks Indonesia, ketika Partai Politik (parpol) salah merekrut atau mencalonkan seseorang menjadi pemimpin politik. Sehingga peran parpol sangat penting dalam menyaring pemimpin " sebagai pintu penjaga demokrasi" .Â
Ketiga, kita - pemilih, juga ikut berkontribusi di TPS dengan memilih orang yang salah, yang akan menjadi pemimpin autokrat yang otoriter, dan akan melemahkan bahkan membunuh demokrasi.
Lantas bagaimana agar kita mengetahui seseorang pemimpin otoriter, atau berpotensi menjadi pemimpin Otoriter ? Â kedua penulis menyajikan 4 indikator kunci (hal.11) yaitu:Â
1)Penolakan terhadap aturan main demokrasi.
2). Menyangkal legitimasi lawan politik.
3). Toleransi atau anjuran kekerasan.
4). Membatasi kebebasan sipil, lawan politik dan media. Keempat pertanyaan ini, sebenarnya dipecah kedalam varian pertanyaan spesifik terkait gejala otoritarianisme.
Pertanyaan tak kalah penting adalah bagaimana para autokrat yang otoriter menumbangkan demokrasi?Â
Para autokrat yang otoriter menumbangkan demokrasi melalui cara: Memperlemah Lembaga yang seharusnya menjadi control, memperlemah oposisi, media, pebisnis, tokoh publik lainnya. Dan kondisi krisis cenderung melahirkan toleransi atas otoritarianisme.
Menjaga Demokrasi dan Mencegah Pemimpin OtoriterÂ
Lantas, bagaimana kita menjaga demokrasi ? bagi kedua penulis, perlu adanya pagar untuk menjaga demokrasi yaitu mengikuti konstitusi, dan yang tak kalah penting adalah norma tak tertulis (toleransi dan sikap menahan diri secara kelembagaan).
Bagi kedua penulis yang menopang demokrasi Amerika bukan konstitusi tertulis saja, melainkan norma tak tertulis. Sehingga, praktik-praktik yang menjadi kebiasaan (tak tertulis) penting dalam menjaga demokrasi.Â