Mohon tunggu...
Jonminofri Nazir
Jonminofri Nazir Mohon Tunggu... Jurnalis - dosen, penulis, pemotret, dan pesepeda, juga penikmat Transjakrta dan MRT

Menulis saja. Juga berfikir, bersepeda, dan senyum. Serta memotret.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Inflasi Puisi

7 Juli 2024   06:55 Diperbarui: 7 Juli 2024   06:58 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun bagi penggemar puisi, jumlah puisi memang sangat berlimpah dia lihat di media sosial. 

Kalau memang puisi berseliweran di media sosial, kita patut bertanya kebenarannya. Sebab realitas media sosial berbeda banget dengan realitas sosial, atau realitas sebenarnya. 

Pada realitas media sosial ada mesin otomatis yang bekerja tanpa kita lihat, yang bernama algoritma. Jika kita pernah mencari kata "puisi" di search engine, makan internet akan membanjiri kita dengan puisi. 

Hal ini mungkin yang terjadi pada kita yang merasakan kebanjiran puisi. 

Tetapi, bisa saja asumsi ini salah. Sebab realitas sebenarnyanta tentang pasokan puisi dari netizen kita tidak pernah tahu sebelum ada penelitian ilmiah tentang ini. 

Atau yang terjadi sebenarnya perilaku orang yang bergeser. Jika dulu orang menulis puisi, dia simpan saja dalam bukunya. Atau paling banter dimuat di majalah sekolah, koran dinding. Kalau dikirim ke surat kabar atau majalah kertas, puisi itu harus bersaing dengan puisi dari penyair top. Penyair baru harus tahu diri minggir dulu. 

Apapun yang terjadi -- jumlah puisi melimpah atau tidak-- memamg harus ada seleksi untuk yang membaca. Bukan seleksi bagi penulis puisi. Jadi, tulislah puisi sebanyak-banyaknya seperti ayam bertelur. Tapi pilihlah telur terbaik, eh, puisi terbaik. 

Menjadi persoalan, bagaimana memilih puisi terbaik? Nah, serahkan kepada penyair ternama. Jadi mereka membuat media (sosial atau median digital). Mereka memilih puisi terbaik, dan memuaskan di media ini. Artinya, ada kurasi terhadap puisi. 

Pertanyaannya: siapa yang membiayai para kurator yang terdiri dari penyair kondang ini? 

Netizen harus rela menyisihkan beberapa puluh atau ratus rupiah untuk berlangganan media puisi. 

Tidak mau? Ya, tidak apa. Seperti tomat, jika jumlahnya berlebihan tomat busuk akan sampai juga ke pinggan kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun