Maman S. Mahayana, dosen UI dan sastrawan, mengamati hal yang unik tentang puisi. Ini dikemukakan pekan lalu di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.Â
Di mata Maman jumlah puisi sudah terlalu banyak, sehingga puisi mengalami inflasi.Â
Jika diumpamakan barang, puisi itu over supply. Di mana-mana di temui puisi. Jika puisi itu tomat, harganya turun. Bahkan tomat pernah dibuang begitu saja karena saking banyaknya. Tidak ada yang beli.Â
Hal yang dirasakan Maman mungkin kita lihat juga. Di Facebook kita baca puisi. Di Instagram kita temui puisi. Di Twitter X puisi berserakan. Di WAG puisi berseliweran. Di thread berlimpah puisi. Di dinding wc umum terpahat puisi.Â
Sangat menggembirakan. Dengan puisi orang menjadi hidup. Atau karena hidup orang berpuisi.Â
Maman menduga puisi berlimpah ini karena sebuah puisi Taufiq Ismail di bawah ini.Â
DENGAN PUISI, AKU
(KARYA TAUFIQ ISMAIL)
Dengan puisi,aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti.
Dengan puisi,aku bercinta
Berbatas cakcrawala.
Dengan puisi,aku mengenang
Keabadian yang akan datang.
Dengan puisi,aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris.
Dengan puisi,aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk.
Dengan puisi,aku berdoa
Perkenankanlah kiranya
Apakah betul puisi sekarang melimpah? Jawaban pasti kita tidak tahu.Â
Namun bagi penggemar puisi, jumlah puisi memang sangat berlimpah dia lihat di media sosial.Â
Kalau memang puisi berseliweran di media sosial, kita patut bertanya kebenarannya. Sebab realitas media sosial berbeda banget dengan realitas sosial, atau realitas sebenarnya.Â
Pada realitas media sosial ada mesin otomatis yang bekerja tanpa kita lihat, yang bernama algoritma. Jika kita pernah mencari kata "puisi" di search engine, makan internet akan membanjiri kita dengan puisi.Â
Hal ini mungkin yang terjadi pada kita yang merasakan kebanjiran puisi.Â
Tetapi, bisa saja asumsi ini salah. Sebab realitas sebenarnyanta tentang pasokan puisi dari netizen kita tidak pernah tahu sebelum ada penelitian ilmiah tentang ini.Â
Atau yang terjadi sebenarnya perilaku orang yang bergeser. Jika dulu orang menulis puisi, dia simpan saja dalam bukunya. Atau paling banter dimuat di majalah sekolah, koran dinding. Kalau dikirim ke surat kabar atau majalah kertas, puisi itu harus bersaing dengan puisi dari penyair top. Penyair baru harus tahu diri minggir dulu.Â
Apapun yang terjadi -- jumlah puisi melimpah atau tidak-- memamg harus ada seleksi untuk yang membaca. Bukan seleksi bagi penulis puisi. Jadi, tulislah puisi sebanyak-banyaknya seperti ayam bertelur. Tapi pilihlah telur terbaik, eh, puisi terbaik.Â
Menjadi persoalan, bagaimana memilih puisi terbaik? Nah, serahkan kepada penyair ternama. Jadi mereka membuat media (sosial atau median digital). Mereka memilih puisi terbaik, dan memuaskan di media ini. Artinya, ada kurasi terhadap puisi.Â
Pertanyaannya: siapa yang membiayai para kurator yang terdiri dari penyair kondang ini?Â
Netizen harus rela menyisihkan beberapa puluh atau ratus rupiah untuk berlangganan media puisi.Â
Tidak mau? Ya, tidak apa. Seperti tomat, jika jumlahnya berlebihan tomat busuk akan sampai juga ke pinggan kita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H