Senja... Dan hujan...Â
Sayup bola mata ini terbangun lentik bibir poles.Â
Pampangnya kemilau di hadapku
Aku tak mengelak menikmatinya dari sudut nyaman ini.Â
Bibir poles...Â
Baru saja pulas dimanja ginju dan  minyak binar. Â
Bukan rasa binal. Di bawah mancung, ia menancap-tertanam, menggantung menutup selilit gigi giginya.Â
Pipi gembulnya ibarat perekat, terkait dagu madu menaruh.
Bibir poles...Â
Meriang, mengiringku menghampiri.Â
Aku tak berkutat saat kulumnya mendesah memancing auraku.
Jarak tak kasat mata bukan penghalang. Kudekati selangkah.Â
Bibir poles...Â
Nampak membuka kelopaknya.Â
Sedang ingin merekah. Aku pangling. Selangkah lagi aku mendekat.Â
Kali ini aku tak tahan harum merbaknya.Â
Ia menumpahkan minyak binarnya, merata memenuhi tepi-tepinya yang manja.Â
Kini.. Tinggal selangkah lagi kuseduh sisa tumpahannya.Â
Bibir poles...Â
Mulai melantur, berpura-pura tak menggengam nafsu.Â
Saatnya tiba, sadar kalau aku tak lagi di sudut aman. Kini berpacu menjamah bibir poles. Molek.Â
Langkah akhir ini tanpa tanda. Semua siap berlaga. Bibir kami saling tindih. Dianya menyeriangi. Lumurannya menjangkau langit-langit pelipisku.Â
Kami jedah sesaat..Â
Dan Lalu
Berlalu.Â
Kami temukan kelicikan baru. Terhanyut pada pacuan, kami lupa pada lintasan.Â
Bibir poles...Â
Sudah tanpa polesan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H