Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Deschooling Society

14 Januari 2022   16:44 Diperbarui: 14 Januari 2022   16:54 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk dinda Dim: 

Kabar baik itu ternyata bikin heboh. Pertengahan tahun lalu Mha, anak sulungku, mogok sekolah. Ia pulang ke rumah neneknya di Salatiga waktu libur Idul Fitri dan tidak mau kembali ko Jogja.

Padahal waktu itu mestinya Mha menempuh ujian kenaikan kelas di sebuah Madrasah Aliyah di Jogja, tempatnya bersekolah.

Lulus SMP, sang ibu berinisiatif memondokkan Mha di sebuah pondok pesantren di Jogja sekaligus melanjutkan sekolah. Masa itu awal pandemi Covid-19, sekolah-sekolah dilarang melangsungkan pembelajaran tatap muka. Mha mengeluh karena dia mondok sendiri, tak ada yang membimbing dalam menyelesaikan tugas-tugas daring dari sekolah. Tidak guru ngajinya, tidak pula kedua orangtuanya.

Gejala depresi mulai muncul. Ia mengalami kesulitan mengekspresikan isi hatinya. Puncaknya itu tadi, Mha enggan melanjutkan sekolah.

Aku, bapaknya, sudah sedari awal menduga hal itu. Bukan lantaran situasi complicated  keluarga kami yang membuatku tak berusaha mencegah kejadian itu, tapi asal tahu saja, aku sengaja kutunggu momentum "pemberontakan" itu.

Ketika usia Mha sudah tujuh tahun, aku tidak mendaftarkannya sekolah. Kubiarkan saja dia bermain sesuka hatinya. Pak Kades waktu itu menegurku dan bilang kalau aku tidak mampu menyekolahkan Mha, beliau sanggup menanggung biyayanya. Aku tidak tersinggung, hanya senyum saja dan bilang, "Ya deh Pak Kades, nanti saya sekolahkan dia. "

Itu strategi buying times sekaligus menghindari debat. Mustahil rasanya berdiskusi dengan Pak Kades tentang filosofi deschooling society ala Ivan Illich. Tanpa maksud merendahkan tentu saja, sebagaimana Pak Kades juga tidak bermaksud menghina waktu bilang beliau sanggup tanggung biyaya sekolah Mha.

Kakak sulungku, lebih tahu cara menghadapi adik bungsunya. Tanpa ba-bi-bu atau bla bla bla, beliau langsung mendaftarkan Mha di sebuah Madrasah Ibtidaiyah. Tentu setelah melakukan "intimidasi" kecil-kecilan pada ibu Mha  agar berani menentang tirani suaminya.

Okelah, kompromi itu terjadi juga dengan S dan K yang kudu berlaku. Aku membebaskan Mha (dan kemudian adik-adiknya) setiap pagi untuk memilih: hari ini mau masuk sekolah atau mbolos.
Aku tidak akan "memarahi" mereka andai nilai pelajaran sekolah mereka rendah dan tak akan memuji kalau bagus. Aku tegas melarang mereka mengerjakan PR. Kalau ada PR, anak-anak berangkat pagi-pagi agar bisa nyontek jawaban teman.

Kenapa sih aku begitu benci institusi pendidikan yang namanya sekolah? Baiklah, cerpen ini semoga memuaskan banyak orang yang masih saja suka menginterogasiku soal itu tapi selalu kudiamkan.

Pertama, alasan empiris.

Waktu SD, aku selalu juara kelas kecuali di kelas V. Bukan karena nilai rapor (ini bahasa apa sih?) rata-rataku kalah dengan teman sekelas, tapi karena seluruh nilaiku dikorting gara-gara sebuah aksiden.
Ada dua soal ujian kenaikan kelas mapel Bahasa Daerah yang tidak bisa kujawab. Kebetulan, itu pertanyaan esai sehingga pada deret titi-titik jawaban kutulis 'ah mbuh ra ruh, pak.  Tekok'o simbah kono' (entahlah, aku tidak tahu, pak, tanya kakek aja sana).

Jawaban yang sangat genuine dan jujur (anggepku) itu bikin marah Kepala Sekolah. Orangtuaku dipanggil dan diminta mendidik anaknya mengenai etika. Nah lo, bukannya aku disekolahkan supaya dididik soal itu juga? Kok aku kayak bola ping pong?

Ujian kelulusan SMP (SMP ku yang ke lima) di sebuah sekolah swasta di Jakarta juga memberkaskan trauma. O ya, walau kelewat sering berantem dan bolos (kalau gak naik gunung ya ngumpet di perpustakaan, itu sebabnya aku kerap di-DO) nilai akademisku tak buruk-buruk amat (NEM SD-ku rata-rata 9,4 dan SMP 9,1).

Bahkan, waktu kelas III SMP itu aku sering tidak boleh ikut ulangan berbagai mapel. Karena sejak aku pindah ke SMP itu, nilai ulangan teman sekelas mendadak selalu bagus. He. He.. , aku kan bukan cowok pelit!

Kembali ke ujian kelulusan. Selain teori, mapel kesenian mewajibkan siswa praktek menyanyi sebagai mata uji. Lagu daerah pula! Bujug dah.., walau jago main gitar, dari sononya suaraku sudah fals. Aku paling gak bisa nyanyi.

Bu T, guru kesenian, sampai senewen karena aku tetap tutup mulut waktu ujian  kesenian itu. Akhirnya penggaris kayu semeter ikut bicara. Plak.. plok.. plek.. begitulah bebunyianya. Lengan, kaki, dan puncaknya pipi, kena gampar. Lalu kalimat sakti itu meluncur juga: "Panggil orangtuamu ke sini!"

Alamak.., tak tahu beliau kalau bapak sudah wafat dan ibu tinggal di Wonosobo. Di Jakarta aku ikut kakak yang kerja di sebuah perusahaan konstruksi. Bagaimana cara memenuhi kehendak Ibu T?

Ya sudah, dengan duka mendalam dan hati tersayat, menyanyilah aku: Sio tantina, burung tantina, mati dipanah raja nirwana...  Di balik dinding kelas, tawa kawan-kawan meledak. Mampus gue! Penyesalan yang datang kemudian, kelewat lama hilangnya.

Naik level SMA, sekolah negeri paling favorit di Wonosobo menerimaku dengan senang hati. Angka-angka di selembar kertas fotocopy-an itu sungguh sakti. Mereka tak sadar terima murid biang keributan.

Kebetulan, tahun itu ada guru English (karena ini nama, aku tidak menerjemah jadi Bahasa Inggris) baru. Fresh graduated. Beliau masuk kelasku dan memperkenalkan diri.

Sebagai basa-basi, pak guru meminta murid-muridnya bertanya dalam English, pakai to be are. Karena Pak SW, guru  itu, kelihatan masih muda, aku tanya: "Are you married?"

"No, I'm not yet" (catat: pakai yet!), jawab beliau."Tapi kalau nanya sudah nikah atau belum, mestinya kamu pakai have you been bukan are. Ayo tanya lagi yang benar pakai are."

Aje gile... aku udah jadi guide amatir sejak SMP bung. Puluhan jilid buku modulasi tata bahasa kursus English yang judulnya First Thing First dari pre elementary sampai intermediate sudah katam diajarkan kakakku yang bisnis kursus English. Pun kitab tebal dan puluhan kaset English conversation sudah lama pindah dalam benak. Jadi, dengan logat British yang tak bikin medok, Pak SW kuberi kuliah cukup panjang soal grammar.

Entah karena soal itu atau soal lain dengan guru lain, entah karena aku sering ngilang sesudah absen atau bablas ke perpusda timbang masuk gerbang sekolah, untuk kesekian kali persona non grata kualami.

Masih kelas 1 SMA, sekolah menengah atasku yang ke tiga. Kali ini sekolah yang didirikan Muhammadiyah, jadi ada mapel fiqh di sana.

Alkisah, suatu hari guru mapel fiqh bertanya pada kelas, "Wajibkah kita berwudhu sebelum membaca Al Qur'an?"

Kelas diam.

"Baiklah, siapa yang berpendapat wajib, tunjuk jari!"

Tak ada telunjuk terangkat.

"Yang berpendapat tidak wajib angkat tangan!"

Seisi  kelas makin ketat meletakkan tangan di atas meja.

"Yang tidak punya pendapat?"

Antusias aku mengangkat tangan. Logikanya, ketika dua pilihan diajukan dan tak satupun diambil, artinya kan tidak memilih. Faktanya, aku memang tidak tahu landasan hukum membaca Qur'an apakah harus bersuci dulu atau tidak.

Tapi keluguanku itu memicu ledakan tawa seisi kelas. Dan anehnya, pak guru tidak ikut ketawa. Mukanya berubah masam. Lalu meluncurlah dari mulut beliau cercaan demi cercaan, bahkan ada beliau menyamakanku dengan donkey.

Ya, donkey, bukan keledai. Sebab pak guru mem-bully-ku habis-habisan dalam English. Kata-kata semacam dumb, stupid, idiot dan kamerad-kameradnya baris kayak pawai tujuhbelasan.

Busyet dah, dikiranya aku gak ngerti makna kalimatnya. Lagipula, apa salahku? Maka boleh dong aku membalas, "Excuse me, Sir... " dan seterusnya. Kali ini pake logat Liverpool yang kaya slank.

Dan sesudahnya aku di-DO lagi walau alasan legalnya bukan melawan guru tapi karena aku bertatto.

Sejak itu aku malas melanjutkan sekolah.
Di luar sekolah, hobi (hobi lo ya, bukan kewajiban) menuntut ilmu ternyata lebih gampang dan murah disalurkan. Aku bebas memilih ilmu apa yang kusuka untuk dipelajari, baik dengan cara baca buku atau praktek langsung.

Yang belakangan itu karena setelah mogok sekolah, kalau malam aku suka nongkrong di warung nasgor tetangga. Bantu-bantu merajang bawang sampai lihai, masak sendiri kalau mau makan, sampai mbuatin aneka minuman pesanan pelanggan. Ilmu yang ternyata lebih berguna ketika nanti aku berumahtangga ketimbang ilmu yang sepuluh tahun kupelajari di bangku-bangku sekolah.

Waktu teman-teman seangkatanku kuliah, kakakku yang kuliah di IPB rupanya kasihan lihat aku lontang-lantung sorangan. Diajaknya aku ikut dia ke Bogor dengan cara berkirim surat padaku.

Surat itu hasil printout, tapi hurufnya bersambung. Kata kakak, dia pakai program komputer mutakhir untuk menulis surat itu. Kalau aku mau ikut dia ke Bogor, aku mau diajari komputer. Wih.., asyik nih.

Rupanya, selain kuliah, kakak patungan sama teman-temannya buka rental komputer. Aku disuruh jadi penjaga rental yang menyewakan sepuluh unit komputer jangkrik.

Kalau dinda paham yang kumaksud dengan komputer jangkrik, berarti dinda ngerti juga sistem operasi DOS yang masih disimpan dalam disket gede itu, dan itu berarti dinda sudah tua! Tapi rasanya tidak, karena pertama kulihat dinda, bukan pada tempo-tempo yang doloe, baru setelah reda hujan kemarin sore dinda mulai punya nama.

Sebentar saja aku sudah jago mengoperasikan komputer, bahkan maintenance-nya. Dari tukang jaga aku naik pangkat jadi juru ketik.

Waktu itu banyak mahasiswa yang tidak gape ngetik skripsi sendiri karena gak ngerti tool dot command untuk memformat halaman di aplikasi MS Word.

Keseringan ngetikin skripsi orang, lama-lama aku ngerti sistematika menyusun skripsi, mulai dari menelaah penelitian hingga mencari rujukan teoritis. Aneh ya, hampir semua skripsi yang kugarap, tiap pokok pikiran selalu diawali dengan kata "menurut" lalu nama penulis kitab yang jadi rujukan. Emang mahasiswa gak boleh mengajukan argumen dari hasil pemikirannya sendiri ya? Kalau gitu, untung aku gak kuliah.

Dari SD aku sudah biasa bikin cerpen. Waktu sehari-hari ngadep komputer dan kadang gabut kalau gak ada order ngetik, aku nulis sendiri. Hobiku itu ketahuan kakak yang aktifis media dakwah kampus. Lalu aku diajari nulis dan dilibatkan dalam berbagai aktifitas kepenulisan.

Singkatnya, banyak banget (pinjam istilah Kyai Quraish Shihab) ilmu amaliah yang kukuasai di luar sekolah. Perjalanan hidupku kemudian tinggal men-switch ilmu amaliah itu jadi amal ilmiah.

Maka bekerjalah aku di banyak bidang usaha, mulai jadi desainer grafis, wartawan, relawan kemanusiaan, hingga administratur lembaga-lembaga sosial non govermental. Yang sifatnya entrepreneur mulai buka warmindo sampai jualan ayam aduan.

Lalu aku menikah dan punya anak.
Mha lahir tujuhbelas tahun lalu. Sejak dia lahir, aku sudah bertekad tidak akan menyekolahkannya kelak. Mendidik, pasti. Tapi menjadikannya siswa sekolah, no way! Sebab aku beriman penuh bahwa bukan infratruktur, tapi pendidikanlah yang lebih menentukan masa depan bangsa, eh, masa depan Mha. Pendidikan boss, bukan sekolahan!

Lama sudah kusadari (secara empiris) nilai-nilai unggul seperti kejujuran, keberanian, egalitarian, kratifitas, dan melit (couriosity) tidak begitu dihargai di sekolahan dibanding disiplin, kepatuhan, dan kemampuan menyimpan dan merepetisi apa yang diajarkan.

Aku masih ingat benar, nilai THB Bahasa Indonesiaku waktu SD 96. Harusnya 100 kalau saja pertanyan "Asap rokok membuat udara menjadi  ...." Kujawab denan kata pengab. Menurut guruku, itu salah. Yang benar kotor atau tidak sehat.

So, semua itu kualami sendiri. Tapi argumen empiris begitu gampang dibantah: itu lu aja kali, kita mah enggak. Apa iya ya? Jangan-jangan itu semua terjadi karena personality-ku yang memang runyam. Sejak itu, aku rajin mengunyah literasi dunia pendidikan untuk memburu jawab.

Pramoedya membuka mataku  pada sejarah sekolahan di Indonesia yang kutemukan dalam novel tetralogi Buru. Silahkan dinda baca sendiri kalau mau paham maksudku, kalau tak beber di sini, panjaaaang.

Akhirnya, kritik ilmiah berlandas logika yang kuat pada rezim sekolah, kutemukan pada pemikiran banyak orang macam Paulo Freire, Ridolf Steiner, Ki Ageng Suryo Mentaram, hingga Ivan Illich (sekali lagi, kalau dinda mau tahu baca sendiri, kalau tak uraikan di sini, enak di elu pegel di gue).

Nha, kalau konsern dinda pada dunia pendidikan ternyata seserius yang tak tulis sambil becanda ini, sekalian deh baca "Toto Chan, Gadis Manis di Jendela".
Itu buku bercerita tentang sebuah "sekolahan" di Jepang yang keren habis. Tapi sekolahan itu ikut hancur ketiban "fat man" dan "little boy" waktu Perang Dunia seri dua. Aku rekomendasikan buku ini bukan hanya untuk dinda, tapi untuk siapa saja. Janji ya, terutama kalau  sampeyan guru atau mantan tukang ojek, baca buku ini ya?

Bermodal pengalaman dan landasan teoritis lumayan komplit (aku masih penasaran dengan model pendidikan pesantren tradisional dan belum sempat mendalaminya) aku makin mantab menasbihkan diri sebagai prajurit kamikaze yang mengendarai pesawat deschooling society. Aku tahu, lawan mainku berendet dan mereka berposisi hegemon.

Melawan hegemoni doktrin wajib sekolah yang sudah berabad-abad dianut keluarga, tetangga, Pak RT, Pak Kades, Pak Guru, Pak Camat, Pak Bupati, Pak Gubernur, Pak Mendikbud, Pak Presiden, bukan perkara gampang. Banyak betul yang harus kukorbankan. Apalagi Bu A, istriku, mewarisi doktrin yang diperoleh dari orangtuanya, adalah penganut mahdzab wajib sekolah yang fanatik. Walau aku kerap menganggap fanatismenya sebagai "keterbatasan imajinasi tentang pendidikan", istriku tetap oposan terberat.

Sangkala perang ditiupkan. Dan toh akhirnya dinda tahu, meski telah hijrah ke pelosok desa di pinggir kali Serayu untuk menghindari konfrontasi, aku kalah juga. Cerita jadi bengkok sebab anak-anakku pada akhirnya tetap sekolah.

Maka, ketika sebelas tahun kemudian Mha mogok sekolah, aku bersuka cita. Apalagi ibunya, budenya, pakdhenya, omnya, tantenya, embahnya, akhirnya nyerah, cakra manggilingan pun berpihak pada sang ayah. Untung kali ini tak ada intervensi dari Pak Kades atau atasannya dan atasannya dan atasannya lagi.

So, ke mana Mha kubimbing menuntut ilmu selanjutnya?

Sorry ya, kalau dinda mau tahu, tanya saja Mha. Kalau tak tulis  di sini ceritanya gak habis-habis! Aku akan kasih nomor telpon Mha kalau dinda sudah baca-baca referensi yang kusebut-sebut tadi. Setuju Dim? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun