Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Deschooling Society

14 Januari 2022   16:44 Diperbarui: 14 Januari 2022   16:54 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

So, semua itu kualami sendiri. Tapi argumen empiris begitu gampang dibantah: itu lu aja kali, kita mah enggak. Apa iya ya? Jangan-jangan itu semua terjadi karena personality-ku yang memang runyam. Sejak itu, aku rajin mengunyah literasi dunia pendidikan untuk memburu jawab.

Pramoedya membuka mataku  pada sejarah sekolahan di Indonesia yang kutemukan dalam novel tetralogi Buru. Silahkan dinda baca sendiri kalau mau paham maksudku, kalau tak beber di sini, panjaaaang.

Akhirnya, kritik ilmiah berlandas logika yang kuat pada rezim sekolah, kutemukan pada pemikiran banyak orang macam Paulo Freire, Ridolf Steiner, Ki Ageng Suryo Mentaram, hingga Ivan Illich (sekali lagi, kalau dinda mau tahu baca sendiri, kalau tak uraikan di sini, enak di elu pegel di gue).

Nha, kalau konsern dinda pada dunia pendidikan ternyata seserius yang tak tulis sambil becanda ini, sekalian deh baca "Toto Chan, Gadis Manis di Jendela".
Itu buku bercerita tentang sebuah "sekolahan" di Jepang yang keren habis. Tapi sekolahan itu ikut hancur ketiban "fat man" dan "little boy" waktu Perang Dunia seri dua. Aku rekomendasikan buku ini bukan hanya untuk dinda, tapi untuk siapa saja. Janji ya, terutama kalau  sampeyan guru atau mantan tukang ojek, baca buku ini ya?

Bermodal pengalaman dan landasan teoritis lumayan komplit (aku masih penasaran dengan model pendidikan pesantren tradisional dan belum sempat mendalaminya) aku makin mantab menasbihkan diri sebagai prajurit kamikaze yang mengendarai pesawat deschooling society. Aku tahu, lawan mainku berendet dan mereka berposisi hegemon.

Melawan hegemoni doktrin wajib sekolah yang sudah berabad-abad dianut keluarga, tetangga, Pak RT, Pak Kades, Pak Guru, Pak Camat, Pak Bupati, Pak Gubernur, Pak Mendikbud, Pak Presiden, bukan perkara gampang. Banyak betul yang harus kukorbankan. Apalagi Bu A, istriku, mewarisi doktrin yang diperoleh dari orangtuanya, adalah penganut mahdzab wajib sekolah yang fanatik. Walau aku kerap menganggap fanatismenya sebagai "keterbatasan imajinasi tentang pendidikan", istriku tetap oposan terberat.

Sangkala perang ditiupkan. Dan toh akhirnya dinda tahu, meski telah hijrah ke pelosok desa di pinggir kali Serayu untuk menghindari konfrontasi, aku kalah juga. Cerita jadi bengkok sebab anak-anakku pada akhirnya tetap sekolah.

Maka, ketika sebelas tahun kemudian Mha mogok sekolah, aku bersuka cita. Apalagi ibunya, budenya, pakdhenya, omnya, tantenya, embahnya, akhirnya nyerah, cakra manggilingan pun berpihak pada sang ayah. Untung kali ini tak ada intervensi dari Pak Kades atau atasannya dan atasannya dan atasannya lagi.

So, ke mana Mha kubimbing menuntut ilmu selanjutnya?

Sorry ya, kalau dinda mau tahu, tanya saja Mha. Kalau tak tulis  di sini ceritanya gak habis-habis! Aku akan kasih nomor telpon Mha kalau dinda sudah baca-baca referensi yang kusebut-sebut tadi. Setuju Dim? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun