Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Deschooling Society

14 Januari 2022   16:44 Diperbarui: 14 Januari 2022   16:54 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rupanya, selain kuliah, kakak patungan sama teman-temannya buka rental komputer. Aku disuruh jadi penjaga rental yang menyewakan sepuluh unit komputer jangkrik.

Kalau dinda paham yang kumaksud dengan komputer jangkrik, berarti dinda ngerti juga sistem operasi DOS yang masih disimpan dalam disket gede itu, dan itu berarti dinda sudah tua! Tapi rasanya tidak, karena pertama kulihat dinda, bukan pada tempo-tempo yang doloe, baru setelah reda hujan kemarin sore dinda mulai punya nama.

Sebentar saja aku sudah jago mengoperasikan komputer, bahkan maintenance-nya. Dari tukang jaga aku naik pangkat jadi juru ketik.

Waktu itu banyak mahasiswa yang tidak gape ngetik skripsi sendiri karena gak ngerti tool dot command untuk memformat halaman di aplikasi MS Word.

Keseringan ngetikin skripsi orang, lama-lama aku ngerti sistematika menyusun skripsi, mulai dari menelaah penelitian hingga mencari rujukan teoritis. Aneh ya, hampir semua skripsi yang kugarap, tiap pokok pikiran selalu diawali dengan kata "menurut" lalu nama penulis kitab yang jadi rujukan. Emang mahasiswa gak boleh mengajukan argumen dari hasil pemikirannya sendiri ya? Kalau gitu, untung aku gak kuliah.

Dari SD aku sudah biasa bikin cerpen. Waktu sehari-hari ngadep komputer dan kadang gabut kalau gak ada order ngetik, aku nulis sendiri. Hobiku itu ketahuan kakak yang aktifis media dakwah kampus. Lalu aku diajari nulis dan dilibatkan dalam berbagai aktifitas kepenulisan.

Singkatnya, banyak banget (pinjam istilah Kyai Quraish Shihab) ilmu amaliah yang kukuasai di luar sekolah. Perjalanan hidupku kemudian tinggal men-switch ilmu amaliah itu jadi amal ilmiah.

Maka bekerjalah aku di banyak bidang usaha, mulai jadi desainer grafis, wartawan, relawan kemanusiaan, hingga administratur lembaga-lembaga sosial non govermental. Yang sifatnya entrepreneur mulai buka warmindo sampai jualan ayam aduan.

Lalu aku menikah dan punya anak.
Mha lahir tujuhbelas tahun lalu. Sejak dia lahir, aku sudah bertekad tidak akan menyekolahkannya kelak. Mendidik, pasti. Tapi menjadikannya siswa sekolah, no way! Sebab aku beriman penuh bahwa bukan infratruktur, tapi pendidikanlah yang lebih menentukan masa depan bangsa, eh, masa depan Mha. Pendidikan boss, bukan sekolahan!

Lama sudah kusadari (secara empiris) nilai-nilai unggul seperti kejujuran, keberanian, egalitarian, kratifitas, dan melit (couriosity) tidak begitu dihargai di sekolahan dibanding disiplin, kepatuhan, dan kemampuan menyimpan dan merepetisi apa yang diajarkan.

Aku masih ingat benar, nilai THB Bahasa Indonesiaku waktu SD 96. Harusnya 100 kalau saja pertanyan "Asap rokok membuat udara menjadi  ...." Kujawab denan kata pengab. Menurut guruku, itu salah. Yang benar kotor atau tidak sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun