Kenapa sih aku begitu benci institusi pendidikan yang namanya sekolah? Baiklah, cerpen ini semoga memuaskan banyak orang yang masih saja suka menginterogasiku soal itu tapi selalu kudiamkan.
Pertama, alasan empiris.
Waktu SD, aku selalu juara kelas kecuali di kelas V. Bukan karena nilai rapor (ini bahasa apa sih?) rata-rataku kalah dengan teman sekelas, tapi karena seluruh nilaiku dikorting gara-gara sebuah aksiden.
Ada dua soal ujian kenaikan kelas mapel Bahasa Daerah yang tidak bisa kujawab. Kebetulan, itu pertanyaan esai sehingga pada deret titi-titik jawaban kutulis 'ah mbuh ra ruh, pak.  Tekok'o simbah kono' (entahlah, aku tidak tahu, pak, tanya kakek aja sana).
Jawaban yang sangat genuine dan jujur (anggepku) itu bikin marah Kepala Sekolah. Orangtuaku dipanggil dan diminta mendidik anaknya mengenai etika. Nah lo, bukannya aku disekolahkan supaya dididik soal itu juga? Kok aku kayak bola ping pong?
Ujian kelulusan SMP (SMP ku yang ke lima) di sebuah sekolah swasta di Jakarta juga memberkaskan trauma. O ya, walau kelewat sering berantem dan bolos (kalau gak naik gunung ya ngumpet di perpustakaan, itu sebabnya aku kerap di-DO) nilai akademisku tak buruk-buruk amat (NEM SD-ku rata-rata 9,4 dan SMP 9,1).
Bahkan, waktu kelas III SMP itu aku sering tidak boleh ikut ulangan berbagai mapel. Karena sejak aku pindah ke SMP itu, nilai ulangan teman sekelas mendadak selalu bagus. He. He.. , aku kan bukan cowok pelit!
Kembali ke ujian kelulusan. Selain teori, mapel kesenian mewajibkan siswa praktek menyanyi sebagai mata uji. Lagu daerah pula! Bujug dah.., walau jago main gitar, dari sononya suaraku sudah fals. Aku paling gak bisa nyanyi.
Bu T, guru kesenian, sampai senewen karena aku tetap tutup mulut waktu ujian  kesenian itu. Akhirnya penggaris kayu semeter ikut bicara. Plak.. plok.. plek.. begitulah bebunyianya. Lengan, kaki, dan puncaknya pipi, kena gampar. Lalu kalimat sakti itu meluncur juga: "Panggil orangtuamu ke sini!"
Alamak.., tak tahu beliau kalau bapak sudah wafat dan ibu tinggal di Wonosobo. Di Jakarta aku ikut kakak yang kerja di sebuah perusahaan konstruksi. Bagaimana cara memenuhi kehendak Ibu T?
Ya sudah, dengan duka mendalam dan hati tersayat, menyanyilah aku: Sio tantina, burung tantina, mati dipanah raja nirwana... Â Di balik dinding kelas, tawa kawan-kawan meledak. Mampus gue! Penyesalan yang datang kemudian, kelewat lama hilangnya.
Naik level SMA, sekolah negeri paling favorit di Wonosobo menerimaku dengan senang hati. Angka-angka di selembar kertas fotocopy-an itu sungguh sakti. Mereka tak sadar terima murid biang keributan.