Selain agar tidak bosan, tentu agar menjadi hal yang dinanti-nanti oleh pemirsanya. Generasi sekarang mungkin mengenal nama Bing Slamet, tapi tidak semuanya tahu kalau Bing adalah anggota Kwartet Jaya.
Bahkan sewaktu menonton 'Warkop DKI Reborn', sosok Tarzan disebut-sebut sebagai “RTnya Mas Adi” oleh penonton di sebelah saya, bukan sebagai Tarzan Srimulat. Mereka familiar dengan Warkop, tapi tidak dengan Kwartet Jaya dan Srimulat. Itulah kekuatan branding dalam jangka panjang.
Humor Sebagai Perlawanan
Branding yang dibangun sedemikian rupa oleh Warkop ternyata mempunyai keuntungan yang berhasil melindungi mereka dari kebuasan rezim penguasa, hal ini khsusunya dalam materi lawak yang bernuansa kritik.
Pernah suatu hari di stasiun televisi swasta nasional, Indro mengakui bahwa Warkop pernah dijemput mobil aparat di suatu bandara.
Namun penjemputan itu tak sampai kepada tindak penahanan, hanya sebatas interogasi. Terlepas dari status Indro yang notabene anak Jenderal, yang mungkin dapat menyelamatkannya, tentu status terdakwa dapat saja menimpa rekannya yang lain, yaitu Dono dan Kasino, atau bahkan Nanu dan Rudy Badil semasa masih ‘Warkop Prambors’.
Tapi status Indro tersebut sepertinya tidak berpengaruh besar, karena sang penguasa tampak menertawakan dirinya sendiri.
Kekuatan satire nyatanya jauh lebih diterima oleh penguasa, dibanding kritik yang terlalu sarkasme. Hal ini juga terbukti dari pengalaman Miing, saat tampil bersama Bagito di depan para pejabat.
Miing, yang dulunya asisten Warkop ini, bercerita bahwa dia “disambut” oleh Pak Harto secara pribadi, langsung dari kursi istimewanya di depan panggung.
Pak Harto setengah berdiri dan memberikan tanda“monggo” kepadanya. Padahal sampai lima belas menit kemudian ia membicarakan penggusuran dan kesenjangan, terus-menerus.
Para pembantu 'Raja' mulai resah, sang Raja justru tetap tersenyum tenang. Miing bersyukur dirinya tetap selamat hingga sekarang.