Mohon tunggu...
Riyadijoko Prastiyo
Riyadijoko Prastiyo Mohon Tunggu... Penulis lepas -

Pemuda, Pembaca, Penulis, Pengamat Sejarah dan Penikmat Sastra. www.theriyadijoko.info theriyadijoko@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Membaca Kembali Warkop DKI

16 September 2016   18:16 Diperbarui: 17 Desember 2021   19:25 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari di siang yang terik, seorang teman melantunkan sepotong lagu yang liriknya tidak asing di telinga. Sebagaimana musik yang seringkali tiba-tiba muncul di dalam benak, tentu menimbulkan semacam refleksi, dan tanpa sadar seseorang tersebut melantunkan sepotong lagu – dengan bernyanyi ataupun bergumam.

Siang itu teman saya tampak tidak bergumam, tetapi dengan jelas dia bernyanyi. Bahkan, sepotong lirik yang dinyanyikan olehnya itu – menimbulkan sedikit perdebatan – dengan seorang kawan saya yang lain. “Kita ‘nggak pernah sukses”, itulah lirik yang dinyanyikan, bahkan diyakini benar oleh kawan saya.

Tapi pada siang itu saya hanya mengernyitkan dahi, sambil bergumam dalam hati mempertanyakan: Apakah sepenggal lirik dari soundtrack sinetron di medio 1990-an – yang dinyanyikan teman saya – itu benar-benar sesuai dengan filmnya?

Bagi saya, lirik yang diyakini teman saya itu tak sesuai dengan karakter Warkop DKI dalam film, ataupun kenyataan, sebagai objek ilustrasi dalam soundtrack.

Warkop DKI merupakan sekelompok cendekiawan dalam humor. Mereka adalah tiga serangkai yang selalu mencari ‘Kesempatan dalam Kesempitan’, walaupun hasilnya ‘Sama Juga Bohong’, sebagaimana judul dalam tiap filmnya.

Warkop DKI adalah sumpah setia melawan ketidakyakinan. Hal ini terbukti dalam keputusan mereka untuk balik kanan dari dunia perfilman di tahun 1994, dan beralih ke dunia sinetron, sebagai bentuk protes terhadap mati surinya dunia perfilman di masa itu.

Tanpa keputusan ini, tak akan pernah terjadi perdebatan kecil tentang nukilan soundtrack yang dinyanyikan teman saya, yang nyatanya keliru.

“Sukses” dan “suseh” memang kata yang mirip secara fonem, tetapi konteksnya amat jauh berbeda jika dipahami pada lagu tersebut. Karena mendeklarasikan ketidaksusahan, adalah jauh lebih berjiwa besar dibanding mengeluhkan ketidaksuksesan.

Warkop DKI dan Suatu Branding

Dalam sebuah talk show yang dipandu oleh Rhenald KasaliSujiwo Tejo pernah diberi pertanyaan yang cukup serius oleh seorang penonton.

Poin pertanyaannya adalah bagaimana ia menyikapi tanggapan masyarakat, mengenai karya-karya ataupun pemikiran-pemikirannya yang nyeleneh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun