Dengan tenang ia menjawab dengan sebuah pertanyaan: “Dalam hidup ini, kamu pilih dimakamkan dengan banyak orang yang membicarakanmu, atau banyak jadi omongan orang di dalam hidup?
Saya pilih yang pertama, karena hal itu adalah membangun branding”. Begitulah kiranya yang dikatakan Sujiwo Tejo.
Branding dalam pandangan saya merupakan suatu proses panjang – membangun karakter suatu objek – agar pantas dihargai.
Dalam arsitektur, ia bagaikan fondasi yang kokoh untuk menyangga bangunan agar tetap berdiri. Pilarnya adalah karakter; pembangunannya adalah pengalaman; keindahannya adalah warna yang melekat pada benak pengunjung. Walaupun bangunan itu diratakan dengan tanah, ia akan tetap dikenang sebagai suatu hal yang estetis.
Begitulah daya magis branding. Ia bukanlah produk dukun yang dikepulkan asap kemenyan, ia adalah kristalisasi suatu proses yang sering disalahartikan, diremehkan, atau bahkan diharamkan oleh sebagian pihak, yaitu berkesenian.
Selain sebagai pembangunan citra persona, branding tentu juga berpengaruh secara kolektif. Dengan atau tanpa disadari, identitas yang dibawa manusia sejak lahir, belumlah menjadi acuan penentu keunggulan budaya yang mereka miliki.
Misalnya saja Orang Jawa yang akan merinding, jika mendegar tabuhan gamelan ala Bali. Padahal di Jawa, dari Tengah sampai Timur, juga tak kalah daya magis dalam kebudayaannya.
Itulah mungkin alasannya kenapa Eminem ikutan nge-rap, tanpa peduli bahaya dari dampak rasisme di hadapannya. Di sinilah branding menjadi jawaban untuk melengkapi suatu kekurangan.
Warkop menggunakan branding selain sebagai pelengkap kekurangan, tapi juga sekaligus strategi masa depan.
Di masa pada awal terjun ke dunia film, mereka menghadapi kenyataan redupnya para pendahulu mereka yang terlalu sering tampil, dan menanggalkan nama grup dalam eksistensinya.
Warkop hadir di radio Prambors hanya di setiap malam Jumat, dan di era perfilmannya hanya dua atau tiga kali dalam setahun, yang biasanya di setiap Lebaran.