Suatu hari di siang yang terik, seorang teman melantunkan sepotong lagu yang liriknya tidak asing di telinga. Sebagaimana musik yang seringkali tiba-tiba muncul di dalam benak, tentu menimbulkan semacam refleksi, dan tanpa sadar seseorang tersebut melantunkan sepotong lagu – dengan bernyanyi ataupun bergumam.
Siang itu teman saya tampak tidak bergumam, tetapi dengan jelas dia bernyanyi. Bahkan, sepotong lirik yang dinyanyikan olehnya itu – menimbulkan sedikit perdebatan – dengan seorang kawan saya yang lain. “Kita ‘nggak pernah sukses”, itulah lirik yang dinyanyikan, bahkan diyakini benar oleh kawan saya.
Tapi pada siang itu saya hanya mengernyitkan dahi, sambil bergumam dalam hati mempertanyakan: Apakah sepenggal lirik dari soundtrack sinetron di medio 1990-an – yang dinyanyikan teman saya – itu benar-benar sesuai dengan filmnya?
Bagi saya, lirik yang diyakini teman saya itu tak sesuai dengan karakter Warkop DKI dalam film, ataupun kenyataan, sebagai objek ilustrasi dalam soundtrack.
Warkop DKI merupakan sekelompok cendekiawan dalam humor. Mereka adalah tiga serangkai yang selalu mencari ‘Kesempatan dalam Kesempitan’, walaupun hasilnya ‘Sama Juga Bohong’, sebagaimana judul dalam tiap filmnya.
Warkop DKI adalah sumpah setia melawan ketidakyakinan. Hal ini terbukti dalam keputusan mereka untuk balik kanan dari dunia perfilman di tahun 1994, dan beralih ke dunia sinetron, sebagai bentuk protes terhadap mati surinya dunia perfilman di masa itu.
Tanpa keputusan ini, tak akan pernah terjadi perdebatan kecil tentang nukilan soundtrack yang dinyanyikan teman saya, yang nyatanya keliru.
“Sukses” dan “suseh” memang kata yang mirip secara fonem, tetapi konteksnya amat jauh berbeda jika dipahami pada lagu tersebut. Karena mendeklarasikan ketidaksusahan, adalah jauh lebih berjiwa besar dibanding mengeluhkan ketidaksuksesan.
Warkop DKI dan Suatu Branding
Dalam sebuah talk show yang dipandu oleh Rhenald Kasali, Sujiwo Tejo pernah diberi pertanyaan yang cukup serius oleh seorang penonton.
Poin pertanyaannya adalah bagaimana ia menyikapi tanggapan masyarakat, mengenai karya-karya ataupun pemikiran-pemikirannya yang nyeleneh.
Dengan tenang ia menjawab dengan sebuah pertanyaan: “Dalam hidup ini, kamu pilih dimakamkan dengan banyak orang yang membicarakanmu, atau banyak jadi omongan orang di dalam hidup?
Saya pilih yang pertama, karena hal itu adalah membangun branding”. Begitulah kiranya yang dikatakan Sujiwo Tejo.
Branding dalam pandangan saya merupakan suatu proses panjang – membangun karakter suatu objek – agar pantas dihargai.
Dalam arsitektur, ia bagaikan fondasi yang kokoh untuk menyangga bangunan agar tetap berdiri. Pilarnya adalah karakter; pembangunannya adalah pengalaman; keindahannya adalah warna yang melekat pada benak pengunjung. Walaupun bangunan itu diratakan dengan tanah, ia akan tetap dikenang sebagai suatu hal yang estetis.
Begitulah daya magis branding. Ia bukanlah produk dukun yang dikepulkan asap kemenyan, ia adalah kristalisasi suatu proses yang sering disalahartikan, diremehkan, atau bahkan diharamkan oleh sebagian pihak, yaitu berkesenian.
Selain sebagai pembangunan citra persona, branding tentu juga berpengaruh secara kolektif. Dengan atau tanpa disadari, identitas yang dibawa manusia sejak lahir, belumlah menjadi acuan penentu keunggulan budaya yang mereka miliki.
Misalnya saja Orang Jawa yang akan merinding, jika mendegar tabuhan gamelan ala Bali. Padahal di Jawa, dari Tengah sampai Timur, juga tak kalah daya magis dalam kebudayaannya.
Itulah mungkin alasannya kenapa Eminem ikutan nge-rap, tanpa peduli bahaya dari dampak rasisme di hadapannya. Di sinilah branding menjadi jawaban untuk melengkapi suatu kekurangan.
Warkop menggunakan branding selain sebagai pelengkap kekurangan, tapi juga sekaligus strategi masa depan.
Di masa pada awal terjun ke dunia film, mereka menghadapi kenyataan redupnya para pendahulu mereka yang terlalu sering tampil, dan menanggalkan nama grup dalam eksistensinya.
Warkop hadir di radio Prambors hanya di setiap malam Jumat, dan di era perfilmannya hanya dua atau tiga kali dalam setahun, yang biasanya di setiap Lebaran.
Selain agar tidak bosan, tentu agar menjadi hal yang dinanti-nanti oleh pemirsanya. Generasi sekarang mungkin mengenal nama Bing Slamet, tapi tidak semuanya tahu kalau Bing adalah anggota Kwartet Jaya.
Bahkan sewaktu menonton 'Warkop DKI Reborn', sosok Tarzan disebut-sebut sebagai “RTnya Mas Adi” oleh penonton di sebelah saya, bukan sebagai Tarzan Srimulat. Mereka familiar dengan Warkop, tapi tidak dengan Kwartet Jaya dan Srimulat. Itulah kekuatan branding dalam jangka panjang.
Humor Sebagai Perlawanan
Branding yang dibangun sedemikian rupa oleh Warkop ternyata mempunyai keuntungan yang berhasil melindungi mereka dari kebuasan rezim penguasa, hal ini khsusunya dalam materi lawak yang bernuansa kritik.
Pernah suatu hari di stasiun televisi swasta nasional, Indro mengakui bahwa Warkop pernah dijemput mobil aparat di suatu bandara.
Namun penjemputan itu tak sampai kepada tindak penahanan, hanya sebatas interogasi. Terlepas dari status Indro yang notabene anak Jenderal, yang mungkin dapat menyelamatkannya, tentu status terdakwa dapat saja menimpa rekannya yang lain, yaitu Dono dan Kasino, atau bahkan Nanu dan Rudy Badil semasa masih ‘Warkop Prambors’.
Tapi status Indro tersebut sepertinya tidak berpengaruh besar, karena sang penguasa tampak menertawakan dirinya sendiri.
Kekuatan satire nyatanya jauh lebih diterima oleh penguasa, dibanding kritik yang terlalu sarkasme. Hal ini juga terbukti dari pengalaman Miing, saat tampil bersama Bagito di depan para pejabat.
Miing, yang dulunya asisten Warkop ini, bercerita bahwa dia “disambut” oleh Pak Harto secara pribadi, langsung dari kursi istimewanya di depan panggung.
Pak Harto setengah berdiri dan memberikan tanda“monggo” kepadanya. Padahal sampai lima belas menit kemudian ia membicarakan penggusuran dan kesenjangan, terus-menerus.
Para pembantu 'Raja' mulai resah, sang Raja justru tetap tersenyum tenang. Miing bersyukur dirinya tetap selamat hingga sekarang.
Jika Miing diberi senyuman oleh sang Raja, Dono justru “disegani” oleh Aparat.
Militer, sebagai garda terdepan penjaga negara ‘Orde Baru’ tampak tak tega berperilaku bengis kepada seorang Dono. Untuk masuk ke Gedung Parlemen, para alumni UI sering menggunakan dirinya sebagai “Visa” guna membawa masuk perlengkapan logistik di Aksi Mei ‘98.
Dari dalam mobil, beliau hanya membuka kaca, lalu pintu penjagaan lekas terbuka dan Aparat menegur dengan ramah.
Hal ini terulang lagi di depan Universitas Atma Jaya pada Sidang Istimewa MPR, November 1998. Para aparat hanya mampu menggelengkan kepala dan tersenyum melihat aksi Dono menyemproti mereka dengan semprotan hydrant.
Kritik Warkop tidak terbatas pada urusan politik saja. Mereka terbukti menjadi pelopor lahirnya Orkes Moral, “penentang” Orkes Melayu.
Dangdut yang pada waktu itu sedang tren berkat eksperimen Oma Irama, yang mengakulturasikannya dengan rock, dimanfaatkan oleh Kasino dan Nanu sebagai media lawakan intelektual mereka – sebagai mahasiswa – di acara-acara kampus Universitas Indonesia.
Banyak sedikitnya, Warkop memengaruhi lahirnya OM PSP yang mengespreksikan kejengahan mahasiswa lewat ‘Gaya Mahasiswa’, dan OM PMR yang membunuh horor lewat ‘Malam Jumat Kliwon’ serta menyulap cinta-cintaan gombal para penyanyi cengeng menjadi humor yang eksentrik.
Membaca kembali Warkop DKI seperti memahami kembali proses kita dalam berintelektual, membangun karakter, dan membaca arah mata angin ke depannya.
Membaca kembali Warkop DKI seperti mempertanyakan kembali: Apakah kita mampu mengendalikan paradigma, atau justru kita terjebak di dalamnya?
Membaca mereka adalah memahami, bahwa lawakan bukan sekadar lempar tepung, dan bersembunyi di balik kata “Baper” jika lawan bicara tersinggung.
Membacalah sebelum membaca itu dilupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H