Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gaza Adalah Syurga Kami

15 Juli 2014   21:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:15 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14054195461451759798

Anakku menangisiku, ia saat itu sangat ketakutan. Wajahnya yang bersimbah air mata dan memerah sambil menatapku akan segera meninggalkannya pergi. Istriku hanya bilang kepadaku untuk berjuang dengan gigih dan penuh semangat. Aku sangat menghormatinya, aku sangat bersyukur mendapat titipan seorang istri seperti dia yang selalu mendukungku dalam segala keadaan.

Tepat hari Kamis kemarin, situasi di sekitar rumah kami mulai mencekam. Akan membuat tak tega ketika keluar dari rumah untuk memandang sekitar yang penuh bercak-bercak roda-roda yang amblas dengan kendaraan-kendaraan perang. Dalam situasi itu, memang kami hanya mampu bersembunyi untuk sementara dalam kegentingan. Sebagian rumah kami menjadi puing berserpih akibat ledakan awalan dari bom tentara zionis. Aku dan anak istriku hanya bisa berlindung dengan sebagian atap rumah dan dinding pojokan yang tersisa saat itu.

Dan kini, saatnya aku ingin menunjukkan kehormatan anak dan istriku, aku akan ikut membela negaraku yang ditindas ini.

"Aku akan pergi meninggalkanmu wahai istriku."

"Pergilah, aku akan bangga memilikimu wahai suamiku."

"Tolong jaga anak kita, pastikan dia tetap aman."

"Baiklah, ini tanah kelahiran kita, berjuanglah untuk mempertahankan tanah kita ini. Hanya kita yang akan menjaganya, sampai nafas kita tiada kelak."

"Baiklah, aku percaya kepadamu wahai istriku."

"Jagalah Khusni. Aku akan segera pergi."

Seraya ia mengambilkan seragamku lengkap dengan rompi anti-peluru dan sebuah al Quran di tangan kanannya. Aku hanya fokus pada Quran itu. Ukurannya yang mungil sekitar 6 cm kali 6 cm. Lalu, ia berikan kepadaku dan dengan erat kupegang perbekalan itu. Sejenak ku tertegun, melihat Khusni yang masih kecil menempel pada kaki istriku. Aku pun berangkat setelah memandang wajah istriku yang terbaik dalam hidupku.

"Mungkinkah kita akan tetap bertemu wahai istriku ?", ku tak menengok saat berdiri di pengujung pintu rumah yang penuh dengan jejak tembakan.

Ia sejenak tersenyum kepadaku, "kita akan bertemu di syurga Allah wahai suamiku."

"Ayah...", suara anakku, Khusni, menjadi panggilan untukku yang mungkin terakhir kalinya ia akan memanggilku ayah.

Tapi aku pun segera berlalu darinya.

Bersama dengan anggota kompi yang lain, ku bergabung dengan penuh semangat. Aku yakin bahwa aku mampu membela tanah air ini. Aku sangat percaya dengan perkataan istriku.

Menjelang malam harinya, aku terlibat adu tembak dengan kawanan tentara zionis itu. Diriku tak mampu berpaling dari mereka, jumlah mereka sangat banyak daripada kawan-kawanku. Seperti sebuah perang Badr saja ku pikir, tetapi inilah peluang, inilah peluang bagiku untuk mencapai cita-cita termulia sebagai pembela negara ini.

Aku terdiam dibelakang sebuah tembok, detak jantungku kian berdetak, tetapi aku tetap memegang erat senjataku. Dengan sedikit kelihaianku selama menjadi anggota pejuang ini, dan....

"Dooorrr...Jdaaarrrrr dardardardardardardar !!!..."

"Dsing !!.."

"Dess !."

Aku bersyukur, aku berhasil menembak tiga dari kawanan zionis itu, kawanku semua mulai menyisir di daerah reruntuhan bekas ledakan itu. Zionis terpaksa rada mundur dari posisinya.

Aku pun terus maju hingga waktu memasuki tengah malam. Saatnya aku dan kawan-kawanku beristirahat sejenak untuk pemiluhan tenaga yang tadi terkuras. Namun, beberapa kawanku berjaga di sekitar area persembunyian kami. Bermodal senjata rampasan dan bekal senjata seadanya, kami bertahan di malam itu.

Sekejap, mataku terlelap, dan aku tertagetkan oleh sosok wajah istriku yang tersenyum kepadaku, aku masih teringat betul saat ia memberiku Quran. Lalu aku pun memegang Quran mungil itu dan membacanya dalam situasi yang kuharap aman dari serangan.

Tak lama, lewat tengah malam, satu per satu kawanku tiada oleh tembakan dari berbagai penjuru persembunyi itu.

"Jdarr ! Jdarrr !...buuummmm !"

Aku pun sontak memegang kembali senjataku dan memasukkan kembali Quranku dalam tasku. Detak jantungku bergejolak kembali. Aku sangat memberontak kepada mereka semua.

Dua zionis menghadapiku dengan bersembunyi di belakang tembok dan satu orang dibalik meja. Aku sudah tahu posisi mereka, tetapi aku menunggu saat yang pas akan ku bantai mereka.

Inilah saat yang tepat bagiku untuk menembak.

"Jdar jdar !...dar !dar !dar! dar! dar !......."

Alhamdulillah, satu diantara dua zionis berhasil kutembak, tapp....

"Wooooosssshhhh......"

Ternyata di belakangku terdapat seorang lagi yang membawa senjata bara api. Ia membakar tubuhku, ia membakar tubuhku. Aku merontah-rontah, aku kepanasan, aku berlari dan berguling-guling sebisaku.

"Hahahahaha.....saatnya kau kami siksa, hahahaha..."

"Ak..akk.., panas, panas.."

Saat diriku berguling, mereka menambah lagi letupan senjata bara apinya kepadaku. Aku kepanasan, aku suda tak kuat. Mereka menginjak kakiku sampai patah, tanganku mereka tusuk dengan besi.

"Bagaimana rasanya ? hmmmm????..., hahahahha.."

Aku pun tak kuat.

Tepat hari Jumat paginya, istriku menanyakan kondisiku kepada kawanku yang lainnya.

"Wahai Tuan, tahukah Anda tentang kondisi suamiku ?"

"Maaf, Bu. Kami hanya menyampaikan sebuah Quran mungil ini untuk Ibu"

Quran itu terbakar dan sampulnya yang hangus, lalu ia membuka Quran yang hampir sepenuhnya jadi abu itu, ia temukan sebuah ayat di dalam Quran yang tak terbakar oleh bara api, sebagai berikut.

[caption id="attachment_347925" align="aligncenter" width="400" caption="As Shaafat ayat 173, sumber : Al Quran"][/caption]

"Dan sesungguhnya tentara kami itulah yang pasti menang"

Istriku tampak terlihat sedih, tetapi ia berusaha tak menampakkan kesedihannya itu kepada orang lain. Ia percaya saat ini diriku sudah tiada dan mendapatkan tempat terbaik sebagai syuhada bangsa.

"Ayahmu telah tiada Khusni,...", ucap istriku sambil memeluk anakku satu-satunya itu.

Tinggalah mereka berdua saat ini. Aku hanya menatap anakku yang mulai menangis untuk ayahnya yang telah tiada. Maka aku pun segera menggendongnya kembali ke permukiman rumahku.

"Sudahlah Anakku, janganlah engkau bersedih, kini ayahmu telah mencapai apa yang ia cita-citakan selama ini, kini ia tersenyum kepadaku meskipun aku tak bisa melihatnya tersenyum." Sambil ku usapi air mataku yang meleleh di pipiku.

Beberapa waktu aku bertahan di area itu, tiada makanan untuk kamu berbuka puasa, tiada uang selembar pun, jika pun punya uang, pasar pun sudah rata dengan tanah akibat ulah zionis itu. Diriku tersimpuh, aku adalah wanita yang memiliki kelemahan, aku hanya bisa melindungi anakku ini dalam ketakberdayaanku.

"Aku minta maaf kepadamu, Anakku.", Ibuku dengan mata yang lapar ketenangan itu menyapa sukmaku yang menjarit kala itu.

"Tak apa-apa, Bu. Insya Allah, aku akan menjadi seperti ayah. Aku juga memiliki cita-cita seperti ayah, aku ingin membunuh ratusan zionis itu, Bu."

Ibuku terus memelukku dalam kehangatan cinta dan kasih sayangnya.

Tapi, tiba-tiba. Beberapa kawanan zionis menyerang aku dan ibuku saat itu. Dan...

"Jdarrr ! Jdaarrr !...."

Aku pun terkena tembakan pas di kepalaku. Peluru panas itu menembus kepalaku. Diriku langsung tak sadarkan diri. Entahlah aku terkapar dengan muncratan darah yang tercecer di bajuku. Ibuku langsung memelukku. Aku pun bersyukur, ternyata doaku dikabulkan oleh Allah. Cita-citaku tercapai untuk bersama ayah di syurga.

"Aarrrggghhhh !..." aku pun menjerit, aku pun menangis, tanganku berlumuran darah anakku.

"hahaha....wah wah....ada yang baru nih, santapan kita semua teman-teman,..hahahaha..."

"Apa yang kalian mau..???..!!! pergi sana !..pergi !!!...", aku memberontak, aku mengusir mereka semua.

"Oww,, tidak bisa, kini kau milik kami, hahahaha...."

Mereka semua mengelilingiku, mereka merobek-robek hijabku, mereka merobek-robek pakaianku. Aku bersikeras melawan mereka. Namun, aku sungguh lemah, aku tak berdaya, dan mereka berhasil menodaiku.

Beberapa selang waktu kemudian, aku pun lemas, terkapar dengan kondisiku yang tak pantas kuutarakan dan kuperlihatkan kepada Tuhan. Tiba-tiba...

"Jdaaarrr !!!.... Jdarrr!!!......"

Sejenak ku lihat wajah anakku dan suamiku yang tersenyum kepadaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun