Ia sejenak tersenyum kepadaku, "kita akan bertemu di syurga Allah wahai suamiku."
"Ayah...", suara anakku, Khusni, menjadi panggilan untukku yang mungkin terakhir kalinya ia akan memanggilku ayah.
Tapi aku pun segera berlalu darinya.
Bersama dengan anggota kompi yang lain, ku bergabung dengan penuh semangat. Aku yakin bahwa aku mampu membela tanah air ini. Aku sangat percaya dengan perkataan istriku.
Menjelang malam harinya, aku terlibat adu tembak dengan kawanan tentara zionis itu. Diriku tak mampu berpaling dari mereka, jumlah mereka sangat banyak daripada kawan-kawanku. Seperti sebuah perang Badr saja ku pikir, tetapi inilah peluang, inilah peluang bagiku untuk mencapai cita-cita termulia sebagai pembela negara ini.
Aku terdiam dibelakang sebuah tembok, detak jantungku kian berdetak, tetapi aku tetap memegang erat senjataku. Dengan sedikit kelihaianku selama menjadi anggota pejuang ini, dan....
"Dooorrr...Jdaaarrrrr dardardardardardardar !!!..."
"Dsing !!.."
"Dess !."
Aku bersyukur, aku berhasil menembak tiga dari kawanan zionis itu, kawanku semua mulai menyisir di daerah reruntuhan bekas ledakan itu. Zionis terpaksa rada mundur dari posisinya.
Aku pun terus maju hingga waktu memasuki tengah malam. Saatnya aku dan kawan-kawanku beristirahat sejenak untuk pemiluhan tenaga yang tadi terkuras. Namun, beberapa kawanku berjaga di sekitar area persembunyian kami. Bermodal senjata rampasan dan bekal senjata seadanya, kami bertahan di malam itu.