Mohon tunggu...
John Rinaldi
John Rinaldi Mohon Tunggu... -

Saya adalah alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Berminat terhadap kajian filsafat, sosial, budaya, psikologi, agama, dan sufistik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi 7, 40, 100, dan 1000 Hari dalam Timbangan Syariat Islam

3 Februari 2014   10:11 Diperbarui: 30 Agustus 2020   07:56 14281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tahlilan (ntb.kemenag.go.id)

Kenduri arwah/tahlilan biasanya dilakukan umat Islam pada hari ke-7 (bahkan ada yang bersedia melakukannya selama tujuh hari berturut-turut), ke-40, ke-100, setahun, dua tahun dan hari ke-1000 dari kematian seseorang.

Setelah itu ada juga yang kemudian melakukannya setiap tahun. Sebagian kalangan ada yang mengatakan bahwa tradisi semacam itu berasal dari ajaran Hindu.

Mereka juga mengatakan bahwa menjamu dan bersedekah selama tujuh hari berturut-turut ketika ada orang yang meninggal dunia sebagai sebuah sinkritisme dari agama Hindu dan Budha. Benarkah demikian?

Tentu saja tuduhan yang demikian itu tidak benar. Sebab, membaca surat Yasin, berdzikir dan mendoakan orang yang telah meninggal dunia serta bersedekah yang pahalanya diniatkan untuk si mayit kapan pun boleh dilakukan.

Kalau Anda mau melakukannya pada hari ke-5, ke-7, ke-20, ke-50, ke-1000, tiap tahun atau bahkan setiap hari sekalipun diperbolehkan. Untuk melaksanakan amal shalih semacam itu kita diberi kebebasan untuk memilih waktu sesuai dengan keinginan kita, karena ia hanyalah sebuah ibadah yang bersifat umum yang tidak terikat waktu pelaksanaannya.

Mungkin Anda bertanya, apakah ada dalil dalam agama ini yang membolehkan seseorang untuk memilih waktu-waktu tertentu untuk melakukan amal shalih tertentu, dan itu dilakukan secara berketerusan? Jawabnya, ada. Simaklah penjelasan berikut ini:

Dalam ash-Shahihain disebutkan sebagai berikut:

 عَنِ ‏ابْنِ عُمَرَ ‏رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ‏قَالَ: ‏كَانَ النَّبِيُّ ‏صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏يَأْتِي ‏ ‏مَسْجِدَ قُبَاءٍ ‏‏كُلَّ سَبْتٍ، مَاشِيًا وَرَاكِبًا، وَكَانَ ‏عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ ‏رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ‏ ‏يَفْعَلُهُ ‏

Artinya: “Dari Ibnu Umar ra berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mendatangi Masjid Quba setiap hari Sabtu, baik dengan berjalan kaki maupun berkendaraan, sedangkan Abdullah bin Umar ra pun selalu melakukannya.” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Dalam menjelaskan hadits ini, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata:

الْحَدِيْثُ عَلَى الْخْتِلاَفِ طُرُقِهِ دَلاَلَةٌُ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيْصِ بَعْضِ اْلأَيَّامِ بِبَعْضِ اْلأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَالْمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ 

Artinya: “Hadits ini dengan sekian jalur yang berbeda menunjukkan diperbolehkannya menentukan sebagian  hari-hari tertentu untuk melakukan sebuah amal shalih dan dilakukan secara terus menerus.” (Fath al-Bari, 3/69).

Pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani ini menjelaskan kepada kita bahwa kita diizinkan untuk memilih waktu-waktu tertentu untuk mengamalkan amal shalih tertentu dan dilakukan secara terus menerus.

Dengan kata lain, Anda boleh menentukan, misalnya membaca surat Yasin setiap malam Jumat, membaca surat ar-Rahman setiap malam Senin, bersedekah setiap pagi di hari Jumat, dan seterusnya.

Anda pun boleh mengucapkan doa-doa tertentu pada hari-hari tertentu. Termasuk di dalamnya Anda boleh membaca surat Yasin dan dzikir tahlil serta doa pada hari ke-7, ke-40 dan seterusnya dari kematian seseorang. Penentuan waktu-waktu yang demikian itu sesungguhnya telah tercakup dalam keumuman makna yang terkandung dalam hadist di atas.

Jika ada kalangan yang mengatakan bahwa penentuan hari-hari yang ada dalam tradisi 7, 40, 100 dan seterusnya itu berasal dari agama Hindu jelas salah. Karena dengan hadits di atas kita diperbolehkan untuk menentukan waktu-waktu tertentu guna mengamalkan amal shalih tertentu dan dilakukan secara terus menerus, seperti yang dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di atas.

Demikian pula dengan waktu pelaksanaan tradisi kenduri arwah/tahlilan. Umat Islam, khususnya di tanah Jawa, biasanya melakukannya pada hari ke-7, ke-40, ke-100, setahun, dua tahun dan ke-1000 dari kematian seseorang.

Berdasarkan hadits di atas dan penjelasan yang disampaikan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, maka hal itu diperbolehkan. Yang disebut boleh (mubah) adalah sesuatu yang jika dikerjakan tidak mendapat pahala dan tidak pula berdosa. Demikian pula jika ditinggalkan, tidak berpahala dan tidak berdosa.

Artinya, menentukan hari-hari tertentu tidaklah berpahala. Yang mengandung pahala adalah amaliah yang dikerjakan di dalamnya. Jadi, menentukan hari-hari tertentu tidaklah memberikan manfaat apa pun bagi si mayit dan tidak pula memberikan pahala bagi yang melakukannya; namun amaliah di dalamnya berupa pembacaan surat Yasin, berbagai macam dzikir dan doa dalam tahlilan, itulah yang akan memberi manfaat bagi si mayit jika pahalanya diniatkan untuknya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun